SEBUAH bangunan tua di Jalan Letkol Sumardjo, Kelurahan Magersari, Kota Mojokerto menjadi saksi bisu gerakan kebangsaan di masa kolonial hingga jejak perkembangan pendidikan. Karena bangunan yang belum banyak perubahan dari bentuk aslinya itu juga disinggahi sejumlah tokoh besar.
MASYARAKAT sedianya diberi keleluasaan dalam memakamkan jenazah sesuai aturan agama maupun keyakinan masing-masing. Baik terkait tata cara maupun ritual yang dilaksanakan. Namun, di masa kolonial, di Mojokerto sempat diterapkan aturan khusus tentang persemayaman.
GEDUNG Detasemen Kesehatan Wilayah (Denkesyah) 05.04.02 di Jalan Ahmad Yani menjadi salah satu bangunan era kolonial yang masih tersisa di Kota Mojokerto. Gedung yang kini berstatus cagar budaya tingkat kota ini dulu dibangun sebagai fasilitas kesehatan untuk melengkapi rumah sakit dan poliklinik yang didirikan pada kisaran 1933.
KERIUHAN mercon akhirnya meredup dan menjadi barang yang dilarang peredarannya. Selain mengandung bahan peledak, bunyi petasan dinilai mengganggu lingkungan masyarakat.
SEJARAWAN Mojokerto Ayuhanafiq mengungkapkan, gerakan perlawanan terhadap praktik mindring itu diprakarsai oleh Raden Panji (RP) Soeroso. Tokoh asal Mojokerto yang kala itu menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat ini mendirikan perkumpulan anti lintah darat yang dinamakan Anti Woeker Vereeneging (AWV).
WABAH penyakit surra tak hanya mengakibatkan lesunya jual beli hewan ternak. Namun, penyakit menular hewan ternak itu juga menyebabkan produktivitas gula di Mojokerto mengalami terjun bebas.
SELURUH pasar hewan sempat ditutup oleh Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Kebijakan tersebut dilakukan akibat masifnya penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) jelang Idul Adha 2022 ini. Namun, terjadinya wabah yang menyerang hewan ternak bukan kali pertama terjadi.
RANGKAP jabatan kepala daerah kembali terjadi setelah Jepang angkat kaki dari Mojokerto. Setelah kemerdekaan diproklamirkan, pemerintahan berhasil diambil alih pejuang RI. Tokoh dr Soekandar didapuk menduduki kursi Bupati Mojokerto sekaligus Wali Kota Mojokerto.
PADA masa kolonial, hamparan persawahan kritis di wilayah utara Sungai Brantas Kabupaten Mojokerto mampu diubah menjadi lahan produktif. Bahkan, di awal 1910an, hasil produksi tebu mampu menyuplai kebutuhan bahan baku di sejumlah pabrik gula. Sebab, kebutuhan air yang semula hanya mengandalkan curah hujan telah dipenuhi dengan sistem irigasi menggunakan pompa air.
TAK lama setelah Polisi Daerah Mojokerto resmi berdiri, keberadaan institusi bentukan Belanda ini ternyata tak sepenuhnya mendapat kepercayaan dari masyarakat. Bahkan, aparat keamanan justru menjadi sasaran ancaman warga ketika menjalankan tugas.