26.8 C
Mojokerto
Tuesday, June 6, 2023

Orang Frustasi di Atas Tower

Oleh: Muakhor Zakaria*

PAGI itu, saya dan anak saya yang baru berusia empat tahun, Riki, berangkat menuju gedung olahraga untuk menemani saya bermain bulutangkis. Tiba-tiba di perempatan menuju pasar Royal, Riki berteriak keras, ’’Pah, siapa di atas itu?’’ Tangan kanannya diangkat ke dahi sambil memicingkan kedua matanya, ’’Mau ngapain dia di atas tower, Pah?’’

Saya menangkap firasat buruk perihal apa yang akan dilakukan orang di atas tower itu. Aneh? (pikir saya) Dia hanya lelaki biasa, tanpa memakai seragam teknisi, tiba-tiba memanjat tower seluler setinggi lima puluh meter, bahkan tanpa mengenakan pelindung apapun.

’’Lihat, Pah! Dia mau melompat, apakah dia bisa terbang?’’ teriak Riki lagi.

Matahari menggantung tepat di atas langit, benar-benar menyilaukan pandangan mata. Saya memarkir mobil dalam posisi yang agak mendekati tower. Seketika menyuruh Riki tetap di mobil, dan saya segera keluar menatap ke atas tower. Lelaki itu sekitar 40-an umurnya, mengenakan kaos berkerah dan celana panjang lusuh berwarna biru muda. ’’Mungkin dia bisa terbang, Pah, seperti Batman!’’ teriak Riki dari dalam mobil.

’’Ssst!’’ saya menyuruhnya diam dengan telunjuk menutup bibir.

Lelaki itu mulai melihat ke arah saya dengan menundukkan kepalanya, matanya seakan menyorot tajam. Beberapa orang mulai berdatangan seraya menanyakan ada apa, dan apa yang mau dilakukan lelaki di atas tower itu. Saya pun menyuruh mereka untuk diam.

’’Pak jangan lakukan itu… Bapak enggak boleh seperti itu…!’’ teriak saya pada lelaki nekat itu.
Mulai berduyun-duyun orang berdatangan, lelaki-perempuan sambil menatap ke atas. Beberapa orang saling berbisik, ’’Siapa orang itu? Siapa dia? Orang mana?’’

Rupanya tak seorang pun yang kenal. Berarti lelaki itu datang dari tempat yang jauh (pikir saya). Dia pun mulai menatap tajam ke arah kami semua, seraya berteriak keras, ’’Pokoknya saya mau lompat… sudah bosan saya… sudah muak!’’
Segera saya membalas teriakannya, ’’Jangan begitu, Pak, jangan lakukan itu! Bapak enggak boleh putus asa, Bapak enggak boleh melakukan jalan pintas seperti itu! Ayo, kita bicarakan sama-sama, ada masalah apa… ayo, apa yang bisa kami bantu?’’

’’Sudah, diam! Pokoknya saya mau lompat!!’’
’’Jangan begitu, Pak, pokonya enggak boleh begitu!’’
’’Saya sudah bosan, sudah muak dengan semuanya! Tak ada yang bisa diharapkan… tak ada yang bisa diandalkan…?’’
’’Apanya yang tak bisa diandalkan, Pak?’’ balas saya.

Ratusan orang berduyun-duyun mengerubungi saya sambil menatap ke atas. Baru kali ini dalam sejarah hidup saya, seakan saya menjadi pengkhotbah atau penginjil, bahkan penceramah kondang sejuta umat. Sesekali saya mengutip dalil-dalil dari hadis Nabi maupun ayat Alquran, yang semua orang mendengar ucapan saya, meski ditujukan kepada satu laki-laki yang bertengger di atas tower seluler itu.

’’Saya yakin Bapak bisa mengatasi masalah Bapak, saya percaya Bapak pasti bisa! Bapak punya keluarga, punya saudara dan teman-teman dekat, juga…’’
’’Omong kosong! Semua sudah enggak peduli sama saya!’’
’’Tenang, Pak, sabar… ayo, kita bicarakan bersama, apa yang bisa saya bantu….’’
’’Apa?’’
’’Apa yang bisa saya bantu!’’

Laki-laki itu berteriak balik, sambil menunjuk-nunjuk mukanya. Ia mungkin kurang menangkap omongan saya lantaran suara bising yang datang dari orang-orang di sekitar kami. Riki memaksakan keluar dari mobil dan menghambur, sambil memeluk kaki saya ia pun berbisik, ’’Iya kan, Pah, dia bisa terbang? Mungkin dia punya kekuatan seperti Superman?’’
Merasa tak puas didengar oleh saya, tiba-tiba Riki berteriak keras sebagaimana ia sedang memainkan sebuah game pada layar ponsel, ’’Ayo, jangan takut, Man, kamu pasti bisa… kamu pasti bisa!’’

Baca Juga :  Ruwah Desa Medali Mojokerto, Ngaji Bareng Gus Miftah

Segera saya menyumpal mulut Riki dengan telapak tangan. Beberapa orang yang mengerti, tertawa cekikikan di dekat saya. Riki meneriakinya kembali, seakan-akan ia meneriaki beberapa jagoan heroik dalam permainan game kesukaannya. Segera saya mengangkat bocah empat tahun itu, sambil berusaha berbohong menatap matanya, ’’Nak, dia bukan mau terbang, Sayang… dia cuma petugas tower yang akan membetulkan kabel yang putus.’’

’’Putus kenapa, Pah?’’
’’Karena tersambar petir,’’ kata saya jengkel.
’’Tapi dari kemarin enggak ada hujan, kapan ada petir?’’
’’Sudah, diam!’’

Seketika saya mulai terserang pening dan stress berat, mengingat almarhumah kakak saya yang tewas dua tahun lalu. Mobil yang dipinjam dari kami terpelanting jatuh ke jurang sedalam empat meter, karena mengalami rem blong. Padahal, seminggu sebelumnya, saya sudah ada rencana untuk membawa mobil itu ke bengkel karena seringkali merasa kurang nyaman, ketika harus memberhentikan mobil.

Ditunda karena berhalangan, ditunda karena lupa atau malas, ditunda lagi karena hal-hal sepele, yang tak terasa membuat nyawa keluarga sendiri melayang. Kita kadang kurang menyadari, sudah berapa kali kita membuat orang mati dalam kehidupan kita karena hal-hal sederhana saja. Misalnya, ada balok melintang di tengah jalan, dan kita tak peduli dengan tetap membiarkannya menggelontor di sana. Kadang kita lupa memberi makan kucing piaraan, atau memberi honor terlambat untuk para kuli dan pembantu, yang boleh jadi uang itu akan dimanfaatkan untuk orang tua mereka berobat dan seterusnya dan sebagainya.

Ingin sekali saya menceramahi orang di atas tower itu, dengan ucapan yang agak filosofis seperti ini, meski jamaah saya beragam pada pagi itu. Ada orang yang sudah di ambang kematian, ada kalangan pedagang asong yang mendekat, ada muda-mudi yang mau berangkat kuliah, bapak-ibu yang beragam profesi, dari tukang kuli, sopir angkot, petani hingga pegawai kantoran. Tetapi, apalah arti ceramah saya bagi seorang Riki yang baru empat tahun, yang hanya mau melepaskan diri dari gendongan bapaknya yang menyuruh diam dengan mata melotot.

Riki menarik tangan saya sambil menyatakan, ’’Ayo Pah, kita berangkat ke lapangan. Riki mau lari-larian di sana. Orang itu enggak mau terbang seperti Batman.’’
Tapi saya tetap bergeming dan berteriak sekeras mungkin, yang ditujukan pada lelaki di atas tower itu, ’’Bapak tetap saja di situ. Nanti kami panggilkan petugas untuk menolong Bapak!’’
’’Enggak mau! Saya mau lompat sekarang… saya enggak mau berurusan dengan petugas!’’
Saya merasa kewalahan untuk memilih kata-kata yang tepat. ’’Iya, iya… bukan petugas… saya punya teman baik yang akan menurunkan Bapak sekarang.’’

Riki terus menarik-narik tangan saya agar segera meninggalkan lokasi, dan saya berusaha untuk bersabar sebisa mungkin. Lelaki itu terus melancarkan ancaman untuk segera melompat sekarang juga.

’’Jangan lakukan itu, Pak… saya bilang jangan lakukan! Di sini banyak perempuan, orang tua, juga banyak anak-anak… Bapak harus malu pada anak-anak di sini.’’

Riki kembali membayangkan adanya anak-anak yang bersayap dan terbang dalam tokoh permainan game-nya, lalu katanya lagi, ’’Bapak harus malu pada kami, Bapak harus malu pada anak-anak, karena banyak anak-anak yang bisa terbang! Ayo buktikan, Bapak pasti bisa!!’’

Sekali lagi saya membungkam mulut Riki dengan telapak tangan. Karena kerasnya tangan saya membekap, ia kelihatan merasa takut dan waswas.
’’Papah jangan keras-keras dong, kalau dia mau terbang sekarang, kita bisa melihat jelas dari sini, Pah.’’
’’Dia enggak mau terbang, Nak… maksud Papah, dia enggak terbang sekarang…’’
’’Lalu, kapan dia mau terbang?’’ katanya merajuk. ’’Mungkin kedua lengannya bersayap, Pah, mungkin dia makhluk luar angkasa?’’

Baca Juga :  Update! Dampak Gempa Cianjur, 1.207 Ibu Hamil Terpaksa Tinggal di Tenda

Belum sempat menjawab pertanyaan Riki, tanpa saya duga sama sekali, di luar perkiraan kami semuanya. Sebelum petugas datang ke lokasi, laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya pada tiang, lalu seketika, hanya dalam beberapa detik dia melompat dari ketinggian limapuluh meter tower jaringan seluler.

Orang-orang terpana kaget, para wanita berteriak dan menjerit-jerit histeris. Melihat ekspresi orang-orang sekitar, Riki hanya terdiam melongo dalam gendongan saya. Saya berusaha menutup kedua matanya erat-erat. Hanya dalam dua menit, tiga orang petugas datang dan segera berlari memeriksa jasad yang terkapar di atas tanah, dengan hidung dan mulut bercelomot darah.

Beberapa saat kemudian, empat orang polisi datang ke lokasi, memeriksa tempat kejadian perkara, menyusul pemasangan police line berwarna kuning, mengitari tower seluler tersebut.

Orang-orang berkerumun di sekitar mayat korban. Riki memaksakan diri melihat dari dekat. Ia ingin menyaksikan ketangkasan dan kehebatan superhero yang dikiranya akan tersenyum bangga laiknya tokoh Batman. Saya segera mengamit lengannya, tetapi ia berontak melawan, tetap bersikeras menuju si korban yang terbujur kaku.

’’Ayo, kita berlomba lari menuju mobil,’’ ajak saya kemudian.
’’Pah, ayo ke situ, semua orang menuju ke situ, Pah…’’
’’Pokoknya kita berlomba menuju mobil. Siapa yang menang akan mendapat hadiah es krim.’’
’’Serius, Pah?’’
’’Serius dong.’’ Saya pun bergegas menuju mobil, kemudian memperlambat langkah, hingga Riki telah sampai duluan di pintu mobil.
’’Nah, beli es krim sekarang!’’
’’Oke siap, kita harus menjauh dari tempat ini.’’
Pagi itu, kami berputar haluan untuk membatalkan latihan bulutangkis. Di sebuah warung di pertigaan jalan, saya memarkir mobil dan memenuhi janji untuk membelikan es krim. Di sepanjang jalan sambil menikmati es krim kesukaannya, Riki, anak berusia empat tahun dari generasi milenial ini, terus saja nyerocos melancarkan serangan, menanyakan ini-itu yang membuat saya agak kewalahan menjawabnya.
’’Kenapa sih, Papah suka mengganggu kesenangan Riki?’’ tanyanya ketus.
’’Mengganggu gimana?’’
’’Tadi, saya pengen lihat Bapak yang punya kesaktian itu, kenapa Papah larang?’’
’’Papah enggak melarang. Papah cuma takut kamu terhimpit banyak orang karena suasananya ramai banget.’’
’’Tapi, Papah juga pernah melarang Riki membaca buku Pikiran Orang Indonesia, iya kan?’’
’’Karena belum waktunya, Nak, buku itu untuk bacaan orang dewasa.’’
’’Tapi ngomong-ngomong, apakah benar bapak-bapak tadi bisa terbang?’’
’’Sepertinya enggak ada orang yang bisa terbang, Nak.’’
’’Kenapa?’’
’’Karena manusia bukan makhluk Tuhan yang bersayap.’’
’’Burung bersayap, dan bisa terbang.’’
’’Tapi manusia enggak bisa.’’
’’Manusia juga makhluk Tuhan, kan?’’
’’Ya.’’
’’Tapi ada manusia yang punya kesaktian, kan?’’
’’Mungkin.’’
’’Bisa terbang dong, seperti bapak di tower tadi.’’

Saya diam tak mau menanggapi omongannya lebih lanjut. Sesampainya di depan rumah, mobil saya parkir di halaman depan, tidak saya masukkan ke dalam garasi.

Seketika saya memanggil istri saya, dan menganjurkannya agar menyeting ulang semua aplikasi di dalam ponsel, memilih permainan-permainan game yang bermanfaat, serta menghapus permainan-permainan yang merusak. Hal itu dimungkinkan, untuk menghindari anak dan semua keluarga kami menjadi korban yang ke sekian kalinya sebagai superhero yang berimajinasi memiliki sayap di sekitar lengan kiri dan kanannya. (*)

*Dosen dan penikmat sastra milenial Indonesia, menulis cerpen dan esai sastra di media nasional cetak dan online.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/