24.8 C
Mojokerto
Thursday, March 30, 2023

Riak Dermaga Pelabuhan Sape

Oleh: Elvi Suzia Rita*

DARI jendela, langit sepenuhnya berwarna aluminium. Gerimis di luar membuat kapal-kapal di dermaga basah kuyub. Aurin menghela napas berat. Bengis sapuan angin tak mampu menghentikan keringat yang mengucur di pelipisnya. Wajahnya yang pias, mengucurkan butir-butir keringat keresahan. Tak ada pilihan. Satu-satunya tujuan yang ia tempuh sekarang adalah Labuan Bajo. Tiket kapal KMP Cakalangitu iagenggam erat. Di luar, hujan deras yang tak berhenti sedari pagi seolah membuat laut nan bergelora merasa perlu mengamuk. Menghempaskan ombak besarnya ke arah dermaga hingga menghanyutkan segala benda yang ditakdirkan untuk hanyut. Suara petugas, siaran televisi, supir taksi, dan suara lain yang lainnya menciptakan bising yang tak berkesudahan.

Aurin mencoba ke lantai atas ke ruang tunggu penumpang kapal. Lima belas menit lagi kapal akan berangkat. Gurauan tayangan talkshow televisi kenamaan dibawakan oleh para artis multitalenta, lumayan menenangkan ketegangan otaknya. Sebelum beralih menjadi tayangan berita singkat. Berita kriminal tentang kasus pembunuhan oleh sang jenderal.

Seketika Aurin memalingkan wajahnya. Ia diserbu kecemasan luar biasa. Dadanya kembali sesak, keringat dingin kembali membasah di pelipisnya. Ia pejamkan mata. Kemudian menarik napas dalam-dalam. Seperti yang diabakan oleh psikiater tempo hari, dokter Attaya. Ia pindah ke tempat duduk paling ujung ke sisi yang tidak terlalu terjangkau suara tayangan sembari mengeluarkan headset. Ia mencoba mengalihkan pendengarannya dengan membuka ponsel.

Akhir-akhir ini banyak berseliweran berita pembunuhan sadis. Hampir semua koran dan TV nasional menampilkan sebagai berita utama. Aurin terus memikirkan peristiwa pembunuhan itu. Dasar manusia-manusia tak bermoral. Seenaknya saja mereka menghabisi nyawa orang. Rutuknya dalam hati.Dasar manusia-manusia tak beriman. Tidak takut akan hukuman Tuhan.. Hei, bukankah termasuk dirinya sendiri. Entah kemanalah imannya. Ternyata ia lebih takut dengan psikopat si penghilang nyawa, daripada Tuhan Sang Maha pemilik nyawa. Duh gusti, kenapa ia bisa jadi begini.

Ia dicekam rasa takut yang luar biasa membuat ia tak berani jika sendirian di rumah. Hal itu mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Semenjak kejadian pembunuhan oleh jenderal itu, ia tak berani lagi menghidupkan mesin cuci. Bisingnya suara mesin cuci, membuat ia tak mendengar siapa pun yang datang, manakala ada yang mengetuk pintu rumah. Pernah pula saat suaminya pulang bekerja, tersebab mesin cuci, ia tak mengetahui kapan datangnya, tak mendengar ucapan salam darinya, tiba-tiba sang suami sudah datang dari arah kamar. Ia kaget bukan kepalang.

’’Kapan pulang kok nggak ngucap salam?’’
’’Ada, Rin, cuma kamu nggak nyahut jadi ya aku lanjut aja,’’
’’Lain kali harus kencang ngucapin-nya. Aku di rumah harus selalu waspada.’’ Komplennya sewot. Suaminya sempat bingung. Namun, sedikit menggeleng-gelengkan kepala keheranan dengan tingkah istrinya.
Pun ketika ke kamar mandi walaupun siang hari.
’’Bang, nanti pintu kamar jangan ditutup ya.’’
’’Kenapa takut dengan hantu? Hantu itu kalau sempat menampakkan diri dihadapan manusia, berarti dia lagi apes.’’ Seloroh suaminya. Namun logika suaminya itu sama sekali tak membuat ketakutannya serta merta menghilang. Bahkan untuk menjadi penyebab pun tidak.
’’Bang, ketika saya ke kamar mandi, saya meminta supaya pintu kamar kita tidak ditutup, itu bukan karena saya takut hantu. Tapi jika terjadi apa-apa sama saya, abang langsung segera menghampiri.’’
’’Misalnya kamu kepeleset di kamar mandi?’’
’’Entahlah Bang, menurut saya lebih dari itu. Takut ada yang mengikuti saya, hendak membunuh saya dalam kamar mandi. Saya heran kenapa saya jadi penakut sekali akhir-akhir ini. Pun saat saya sholat, ketika saya hendak sujud, cepat-cepat saya nak duduk. Pandangan saya menggelap seketika. Seolah bayangan orang memantul di tempat sujud saya. Nak tikam saya, saya rasa seolah dihantui psikopat.’’
Sejenak suaminya mengerutkan kening, namun cepat-cepat ia netralkan pikiran istrinya.
’’Ah, kamu seperti ibu-ibu rumahan suka menonton sinetron saja. Larut dalam drama yang menimpa pada tokohnya,’’ selorohnya. Padahal televisi ibarat jadi pajangan saja di rumah, tidak pernah dihidupkan apalagi menontonnya.
’’Termasuk jangan lagi kamu menonton video-video online, semacam TikTok, YouTube, dan lainnya.’’ Kali ini tebakkannya tak salah.
’’Memang aplikasi itu menampilkan berita itu-itu saja, makin penasaran, jadi keluar berita otomatis sejenisnya, misalnya kriminal.’’

Baca Juga :  Sabu Titipan Kakak Ipar, Disebut Tinta Sablon

Sudah hampir sebulan ia jadi penakut. Awalnya rasa gelisah saat sendiri dan sepi masih bisa ditahan hingga batas tertentu. Bayang-bayang meresahkan itu membuatnya diserang ketakutan. Sampai-sampai seorang rekan kerja menyarankan untuk berkonsultasi dengan psikiater.

***

Fathir, suaminya dapat promosi jabatan yang selama ini diidamkan olehnya. Namun, perusahaan meminta untuk ikut pelatihan selama lima hari di Jakarta. Berita gembira tersebut malah memperburuk situasi. Sementara ia sedang berkecamuk dengan kondisi kejiwaannya yang urung pulih.
’’Lalu, selama lima hari saya harus tinggal sendiri?’’
’’Kan cuma lima hari, Rin,’’ cegah suaminya.
’’Saya mohon jangan pergi.’’ Aurin yang sudah berlinang di sudut matanya.
’’Jangan begitu, kan ini semua demi kamu juga. Kamunya kayak anak kecil saja.’’
Bujukan suaminya terdengar seperti memancing di air keruh. Memancing perdebatan-perdebatan kecil.
’’Kalau begitu kamu tidak usah bekerja. Biar kamu bisa jagain saya dua puluh empat jam.’’
’’Tidak akan terjadi apa-apa denganmu, Rin.’’
’’Ketika kamu pulang, aku sudah jadi mayat.’’
’’Rin, kamu kenapa? Pikirannya ke mana-mana, jangan ngawur. Baiklah aku tidak bekerja. Lalu kita makan apa?’’
’’Aku tak peduli. Sekarang kamu pilih menerima kontrak dan bekerja atau…’’
’’Atau apa?’’
’’Tinggalkan saya.’’

Perdebatan kecil yang memantik pertengkaran kecil berujung pertengkaran hebat. Suami mengambil pisau rajang dari dapur, pisau diayun dan dilempar sangat kuat mengarah ke leher Aurin. Gerbang kematian sedang menanti ajalnya. Ia akan mati tak lama lagi. Sebuah kematian yang sangat tragis. Beberapa koran akan memberitakan kematiannya setelah ini. Ujung nafasnya hanya sampai di sini, berakhir di tangan suaminya. Psikopat itu sendiri ada di rumahnya. Orang yang paling dekat dengannya. Api-api setan membakar nurani suaminya, membakar rasa kasih sayang di antara mereka. Malaikat maut sudah membentangkan jubah hitamnya.

***

’’Rin, Aurin…ngucap, Rin.’’ Bisiknya cemas diringi kalimat-kalimat tauhid.

Setelah beberapa lama,Aurin tersadar. Ia perlahan membuka matanya. Keringat mengucur seluruh tubuhnya. Fathir tak henti membacakan lirih kalimat Alquran. Sambil memeluk dan menyadarkannya.Istrinya baru saja berhalusinasi.

Baca Juga :  Geliat Produsen Jajanan Khas Imlek, Tahun Ini Produksi Seribu Kue Keranjang

’’Alhamdulillah, kamu sudah sadar Rin.’’ Sambil memberikan segelas air minum kepada istrinya.
’’Kamu kenapa, sayang?’’ tanya suaminya dengan nada cemas. Namun sang istri hanya menggeleng kecil. ’’Apa kata psikiater?’’ istrinya kembali menggelengkan kepala pelan. Ada apa dengan Aurin? Hatinya membatin.
’’Tunggu sebentar ya,’’ izinnya kepada sang istri. Ia segera menghubungi psikiater dibicarakan Aurin tempo hari. Ia cari kartu nama dokter itu di atas nakas kecil ruang tengah. Terdapat pula beberapa pil obat dalam botol kecil.
’’Istri anda mengalami gangguan agrophobia. Ia sangat butuh support. Obat yang kami berikan berupa anti depresan ringan. Itu diminum ketika ia merasa panik untuk meredakan gejala yang dialaminya.’’

Fathir tak menduga kondisi istrinya sampai seperti itu. Perasaan bersalah menghinggapinya. Selama ini ia menganggap keluhan Aurin hanya masalah kecil. Ia tak menyangka keluhan kecil istrinya belakangan ini mengakibatkan dampak yang seperti ini. Bukan hanya perkara takut akan hantu. Ia menganggap istrinya kekanakan. Namun persoalan takut yang bercokol di kepalanya bukan sekadar isyarat kekanakan. Melainkan penanda gangguan kejiwaan. Sepertinya ia perlu mengambil cuti dan mendatangkan orang tuanya dari kampung. Selama ini mereka hanya tinggal berdua dan belum dikaruniai seorang anak. Barangkali dengan datangnya orang tua rumah akan ramai sehingga istrinya tak kesepian lagi. Bila perlu ia akan pergi berwisata dengan istrinya. Sebegitu ia rencanakan. Kembali ia periksa kondisi Aurin yang tadi masih lemas di kamar. Seketika membuka kamar, Aurin sudah tidak ada. Kemana dia?

***

Langit muram berawan. Di pelabuhan sape, ia menunggu kapal yang akan membawanya ke Labuan Bajo. Ke tempat temannya, Elia. Keluarganya Elia yang ramai, ia akan merasa aman. Jikalau sunyi hanya terdengar seperti angin kalut baginya. Menurutnya, Fathir tak akan membatalkan pelatihan itu, biarlah ia menggapai impiannya. Ia tahu betul sifat suaminya yang teguh pendirian itu. Aurin tak mau menjadi penghalang suaminya. Ah, di pelabuhan ini mereka pertama kali bertemu. Terbayang kisah manis mereka dahulu. Suaminya sosok yang romantis. Ia baru tersadar dari lamunan saat ponselnya berdering mengejutkan. Segera ia tekan tombol merah untuk membungkamnya.

Jarum jam menunjukkan detik-detik yang patuh. Hujan berderau bagai detak jam yang kacau. Belum ada tanda-tanda kapal akan berangkat. Namun tak lama, datang pengumuman bahwasannya kapal tak jadi berangkat dikarenakan cuaca tak bersahabat. Rasa cemas kembali merasukinya. Ia rogoh kantong tak ada sesuatupun di sana. Hanya selembar tiket. Jangan-jangan ia lupa membawa obat penenang itu. Tak lama telepon berdering kembali. Pelan ia angkat. ’’Pulanglah,’’ terdengar suara penuh kekhawatiran.

’’Aku sudah membatalkan Diklat itu.’’
’’Rin..’’
Tak lama suara panggilan dari arah belakang. Suaminya datang dengan napas tak beraturan.

* Elvi Suzia Rita, perempuan kelahiran Palembang biasa dipanggil Vivi. Ada hal-hal yang mudah diceritakan lewat pena daripada berkomunikasi langsung. Beberapa cerpennya dipublikasikan di surat kabar. Saat ini penulis berkhidmat sebagai pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMKN 8 Batam. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat instagram : @ami_suzia

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/