SEMENTARA itu, di tengah gempuran industri musik luar negeri di era digital ini, ada segilintir pemuda Mojokerto yang peduli kelestarian musik keroncong. Melalui ide kreatif yang dituangkan para milenial ini, musik khas Nusantara ini bisa dinikmati semua kalangan usia. Ini sekaligus mengikis label musik keroncong sebagai musik yang hanya bisa dinikmati orang tua saja.
Alunan instrumen khas musik keroncong sayup terdengar dari kejauhan. Sejumlah remaja tengah memetik gitar klasik, selo, ukulele cak dan cuk, hingga bas betot/kontrabas di depan warung kopi sederhana yang dinamai Warung Wande. Di balik padatnya kawasan pemukiman Kelurahan/Kecamatan Prajuritkulon, Kota Mojokerto, remaja yang rata-rata masih duduk di bangku SMA itu sedang ngejam bareng. Ya, mereka memainkan musik keroncong bersama-sama, bukan genre musik pop dan sejenisnya.
’’Anak-anak ini memang biasa latihan main musik keroncong bareng di sini. Hampir setiap hari, terutama weekend,’’ ujar pemilik Warung Wande, Syaiful. Mereka tergabung dalam komunitas atau kelompok keroncong yang dinamai Sobat Wande. Nama itu memang tak lepas dari warung besutan pemuda 33 tahun tersebut yang jadi tempat latihan bermain musik keroncong. Uniknya, di situ mereka belajar bersama memainkan musik keroncong tanpa ada yang menggurui.
’’Jadi sharing satu sama lain begini. Kalau ada yang mainkan nada kurang pas ya kita ingatkan. Kalau yang pas itu begini,’’ terang pria berambut gimbal pendiri Sobat Wande itu. Hal itu sudah berlangsung sejak tiga tahun terakhir. Mereka berangkat dari kegemaran akan musik yang sama, yakni musik keroncong. Sehingga tidak ada perekrutan atau sejenisnya untuk bergabung memainkan musik keroncong.
’’Sebenarnya kita nggak niat bikin grup atau sejenisnya. Awalnya memang nggak sengaja waktu saya sama beberapa teman main keroncong di (warung) sini,’’ ungkap pria yang akrab di sapa gerandong itu.
Diakuinya, itu tak lepas dari ketertarikannya akan musik keroncong sejak mendirikan warung kopinya empat tahun lalu. ’’Saya pribadi, tertarik musik keroncong karena unik. Nuansanya berbeda dengan genre musik lainnya, nadanya saling berkolaborasi antara instrumen satu sama lainnya. Jadi, berbeda-beda tapi melengkapi. Dan musik ini memang harus dilestarikan,’’ ucapnya.
Diawali dengan alat musik keroncong seadanya, kini instrumen yang ada di sana kian lengkap. Namun begitu, itu beragam alat musik petik tersebut merupakan hasil swadaya atau patungan. ’’Alat-alat ini ya punya teman-teman sendiri. Karena di rumah nggak terpakai akhirnya ditaruh sini. Dipakai kalau latihan,’’ tuturnya.
Saat ini, kelompok keroncongnya diisi sekitar sembilan pemusik. Ini merupakan generasi ketiga dari musisi-musisi yang berkolaborasi membawakan musik keroncong. ’’Kita nggak buat grup keroncong yang paten begitu. Jadi di sini memang kita belajar bareng,’’ katanya.
Ada warna berbeda yang diusung para generasi milenial ini. Mereka kerap membawakan lagu dari berbagai genre musik untuk diaransemen ulang menjadi keroncong. ’’Musik rock, dangdut, pop, dan lainnya yang kekinian, bisa kita bawakan dalam keroncong. Jadi keroncong ini nggak cuma didengar orang tua saja, tapi anak muda juga,’’ papar Gerandong sapaan akrab Syaiful.
Tak jarang, mereka kerap diundang mengisi sejumlah acara pernikahan maupun kegiatan lainnya. Teranyar, Kamis (9/3) lalu mereka tampil dalam giat Ruwah Dusun Kemasan, Kelurahan Blooto. ’’Kita tidak pernah pasang tarif, seikhlasnya saja. Karena dengan begini, teman-teman sekalian belajar biar nggak demam panggung,’’ tandasnya.
Dia berharap, di hari musik nasional yang jatuh di bulan ini, musik adaptasi dari negeri Portugis ini terus lestari di tengah terpaan tren musik luar negeri. Khususnya, dengan berbagai sentuhan ide kreatif dari para generasi penerus. ’’Dunia musik modern saat ini memang harus berani bersaing dengan terus meningkatkan kualitas. Musik keroncong pun begitu, harus banyak yang mengedukasi ke generasi muda. Sehingga mereka bisa mengembangkan keroncong sesuai perkembangan teknologi saat ini,’’ tukasnya. (vad/fen)