SEIRING perkembangan zaman, pemakaian keris sebagai senjata mulai bergeser. Di era modern ini, keris justru kerap didapati pada sejumlah kegiatan adat dan religi. Tak jarang pula, keris berada di dalam etalase koleksi museum maupun pribadi. Meski kini keris identik dengan hal mistis, di tangan kelompok tertentu keris punya nilai prestise tersendiri.
Gunawan Wijoyo, salah seorang kolektor keris, menyebut, pembuatan keris kuno di masa lampau tak lepas dari unsur mistis atau magis. Menilik sejarahnya, sebelum membuat keris para Empu mesti melakukan sejumlah ritual. Tujuannya, agar keris tersebut dapat berfungsi maksimal bagi pemakainya.
’’Sebelum membuat keris, Empu menanyakan tanggal lahir dan segala macam tentang pemakainya ini. Termasuk tujuan membuat keris ini untuk apa. Setelah itu, empu ini puasa atau ritual untuk mencari inspirasi keris seperti apa yang mau dibuat nanti. Bedanya keris buatan dulu dan sekarang, dulu dalam setahun empu itu bisa bikin keris satu atau dua saja. Sekarang bikin satu keris cukup seminggu,’’ ungkap pria 53 tahun ini.
Menurutnya, unsur mistis tersebut melekat hingga saat ini. Pasalnya, sejumlah keris kuno berpindah tangan maupun diwariskan turun temurun. ’’Khususnya keris kuno ya. Karena pembuatannya dulu kan ada doa-doanya dan ditujukan pada pemilik sebelumnya. Jadi, unsur ghoib itu bonus saja buat kita (kolektor), terlepas dari keindahan murni keris-keris ini. Kalau keris buatan sekarang ya sudah beda,’’ beber warga Kelurahan Wates, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto, ini.
Secara umum, keris terdiri dari tiga bagian. Yakni bilah (wilah), gagang (hulu), dan sarung (warangka). Dari bentuk bilah, keris dibagi menjadi dua jenis. Yakni, dhapur leres atau tilam (bilah lurus) dan dhapur luk (bilah berkelok). Umumnya luk berjumlah ganjil, mulai dari 1, 3, 5, 7, 9, 11, dan seterusnya. Sedangkan pamor (corak pada bilah keris) keris, jenisnya ditaksir mencapai ratusan. ’’Kalau keris Majapahitan itu umumnya berukuran sekitar 25-40 cm. Menang ada yang lebih besar, tapi bisa dari daerah dan masa yang berbeda,’’ terang owner Hotel Naga Mas ini.
Gunawan menjelaskan, keris turut dikelompokkan berdasarkan periode pembuatannya (tangguh). Khususnya bagi keris buatan era kuno hingga abad XVII atau tergolong tangguh sepuh. ’’Tangguh ini biasanya menyesuaikan era kerajannya. Seperti Singosari, Mataram, Pajajaran, Majapahit atau Demak,’’ jelas kolektor keris sejak tahun 2015 ini.
Menurutnya, keris kuno tersebut relatif terjamin kemurniannya. Baik dari segi bahan dan bentuk. Para kolektor biasa menguji keaslian usia keris dengan uji karbon. Namun, menurut Gunawan, usia keris tak mempengaruhi harga keris. Justru, yang membuat keris memiliki prestise tersendiri adalah bahan keris dan komponennya. Seperti koleksi termahalnya, keris Singosari dengan kinata emas yang dibelinya senilai Rp 50 juta.
’’Bagusnya keris atau yang membuat kita (kolektor) tertarik itu selera (masing-masing) saja. Tapi kalau bahan warangka (sarung) dari kayu cendana atau gaharu, gagangnya dari gading asli, itu jadi lebih prestise,’’ tandasnya. (vad/ron)