SEMENTARA itu, pada awal bulan Juni 1946, TRD melakukan upaya penyusupan dari Mojokerto menuju Surabaya. Pasukan khusus ini pun berhasil menembus pertahanan musuh dengan keahlian penyamarannya sebagai rakyat sipil.
Ayuhanafiq mengatakan, TRD harus melalui garis pertahanan musuh untuk bisa masuk ke Kota Surabaya. Dari Mojokerto, pasukan yang terdiri dari 500 personel ini melintasi jalur di Sepanjang dan Waru, Kabupaten Sidoarjo. ”Berkat penyamarannya, TRD berhasil masuk ke Kota Surabaya,” imbuhnya.
Keberhasilan TRD merangsek ke wilayah yang telah duduki musuh itu berkat penyamarannya sebagai penduduk desa. Bahkan, sebagian lainnya juga berkamuflase menjadi kuli atau pekerja kasar.
Sayangnya, ungkap Yuhan, operasi penyelinapan TRD terendus Belanda. Kecurigaan itu muncul karena adanya peningkatan populasi penduduk desa di wilayah selatan Surabaya. Sehingga, serdadu kolonial memutuskan untuk melakukan penggerebekan. Pada akhirnya, penyusupan pejuang pun digagalkan. ”Karena banyak anggota TRD yang tertangkap,” ulas Ketua Divisi Kajian dan Pengembangan Dewan Kebudayaan Daerah (DKD) Kota Mojokerto ini.
Setidaknya, dari hasil penggerebekan tertangkap sekitar 150 orang yang menyamar sebagai warga desa. Selain itu, kurang lebih ada 200 orang kuli yang terbongkar penyamarannya. Sedangkan sebagian pasukan yang lolos dari penangkapan memilih kembali ke Mojokerto. Akibat banyaknya personel yang tertangkap, TRD kemudian dibubarkan. Sementara sisa anggota melebur kembali dalam laskar Hizbulloh Mojokerto.
Kendati demikian, api perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di Mojokerto masih belum padam. Pada 1947, pejuang kembali berupaya untuk merebut kembali Kota Surabaya lewat gerakan secara terbuka. Tak berhenti di situ, upaya yang sama juga dilakukan melalui gerakan Komando Hayam Wuruk. (ram/ron)