KERAJAAN Majapahit memiliki sejarah besar dalam membangun Nusantara. Bahkan, terobosan dan inovasi saat itu jadi pelopor pembangunan peradaban saat ini. Terutama dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air. Pada abad ke 13–15 masehi, masyarakat sudah mengenal pipa untuk saluran irigasi pertanian yang relatif kompleks.
Pipa kuno peninggalan Majapahit tersebut terbuat dari terakota. Tanpa campuran logam, pipa berbentuk silinder berdiameter sekitar 15 cm dengan panjang sekitar 50 cm. Sejauh ini, terdapat dua bentuk pipa kuno yang ditemukan para ahli. Yakni, lurus dan berbentuk menyerupai huruf T dengan ujung yang melengkung. Benda cagar budaya satu ini ditemukan tersebar di wilayah Trowulan.
”Pipa ini ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada periode tahun 1924-1980. Tersebar di wilayah Trowulan. Tidak spesifik di satu titik atau desa tertentu. Total ada sekitar 20 pipa yang diamankan di Museum Majapahit,” ungkap staf Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jatim Unit Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM) Didik Hermawan. Dari bentuknya, pipa tersebut digunakan untuk membagi aliran air agar tidak terfokus satu arah.

Sehingga, pembagian air bisa merata di penjuru areal persawahan. ”Jadi, aliran irigasi tidak terkonsentrasi di satu titik saja. Kemungkinan besar proses pengairan area pertanian saat itu sudah efektif dan efisien,” sebutnya.
Menurutnya, instalasi pipa kuno tersebut terdapat dua pola. Yakni terbuka di atas permukaan tanah dan terpendam di persawahan. ”Dan kemungkinan pemasangannya tanpa menggunakan perekat. Karena sejauh ini masih belum ada kajian lebih lanjut terkait itu,” bebernya.
Pipa kuno dari tanah liat itu dibuat melalui proses sebagaimana terakota pada umumnya. Yakni melalui pembakaran dengan suhu hingga ribuan derajat celsius. Aktivitas pertanian era Majapahit dengan seluk-beluk pengelolaan irigasinya itu tertuang dalam sejumlah prasasti. Yakni Prasasti Kamalagyan (1037 M), Jayasong Jayapurta (1350 M), Kandangan (1350 M), Trowulan (1358 M), Karang Bogem (1387 M), Suradakan (1447 M), Trailokyapuri (1486 M), dan Jiyu I-IV (1485 M).
Bahkan, pertanian di era Majapahit didukung dengan sistem pengairan yang kompleks. Dengan adanya sejumlah waduk dan kanal yang mengaliri area pertanian. ”Henry Maclaine Pont mencatat ada 18 waduk kuno di yang tersebar di wilayah Trowulan. Yang sekarang tinggal enam waduk. Yaitu Waduk Baureno, Kraton, Temon, Domas, dan Kedungwulan,” ucap Didik.

Seperti saat ini, bangunan waduk berfungsi untuk mencukupi kebutuhan air bagi pertanian sekaligus menyediakan ikan sebagai bahan pangan penduduk Majapahit. Namun, merujuk dari berbagai sumber, lanjut Didik, waduk juga berfungsi sebagai penampung luapan banjir. ”Bahkan lahar dari lereng pegunungan juga, seperti Gunung Anjasmoro salah satunya,” terangnya.
Agar air dari waduk mengaliri area pertanian, penduduk Majapahit membangun sejumlah kanal. Saluran air buatan manusia. ”Dari temuan yang didapati ahli purbakala, terdapat kontur tanah cekung yang lurus, panjang, dan dalam di sejumlah wilayah Majapahit. Itu saling silang secara secar atau patahan bentukan manusia. Yang mana ini disebut dengan kanal,” urainya.
Ditambahkannya, berdasarkan kajian tim hidrologi Universitas Gadjah Mada, lebar kanal paling pendek 40 meter dan paling panjang 80 meter dengan kedalaman sekitar sembilan meter. (vad/ron)