Oleh: Martda Vadetya
CELETUKAN lantang salah seorang pengunjung warung kopi di sore itu masih terngiang. Soal sepak bola yang diagung-agungkan di negeri ini. Memang agak ngeri, karena tim idolanya sudah tak berlaga lagi di Liga 1. Ya, terdegradasi.
Saat mendengar jadwal pertandingan Madura United vs Rans Nusantara FC Jumat (23/12) sore, ada kesal di antara tawa yang dilontarkan dihadapan kawannya. Karena Persipura Jayapura, tim yang diidolakannya, sudah terdegradasi ke Liga 2 sejak pertandingan terakhir lawan Persita Tangerang Maret lalu.
Persipura Jayapura bersama Persiraja Banda Aceh dan Persela Lamongan, digusur Rans Nusantara FC, Persis Solo, dan Dewa United yang promosi berlaga di Liga 1 2022/2023. Yang lebih sakit, Persipura terdegradasi setelah 28 tahun sejak Liga Indonesia 1994/1995.
Kata degradasi itu memang terdengar sakit bagi pecinta sepak bola. Tapi nyatanya kata itu sama sakitnya dengan kondisi sosial saat ini. Kalau moral masyarakat sekarang tidak sedang baik-baik saja. Ya, degradasi moral. Para makhluk paling mulia di muka bumi ini tampaknya sudah mengesampingkan akhlak maupun budi pekerti. Walaupun, bicara soal moral amat kompleks.
Berbagai kasus dan kejadian sepanjang tahun bisa untuk berkaca. Seperti begal payudara yang menghantui mama muda di wilayah Trawas Juli lalu. Pelaku yang sudah ditangkap mengaku enam kali beraksi lantaran hasratnya terdorong rasa penasaran akan payudara korbannya. Padahal, ia sudah beristri dan memiliki anak kecil. Meski akhirnya pelaku dicerai sang istri setelah ditangkap polisi.
Tak kalah miris kasus cabul lainnya. Guru TPQ di Sooko mencabuli tiga muridnya yang masih bocah. Disambung seorang paman di Kecamatan Kutorejo yang menyetubuhi ponakannya berusia 9 tahun hingga hamil empat minggu. Tapi, fenomena mengerikan tak berhenti di situ. DF, 18, seorang siswa kelas XII di Ngoro yang nekat gantung diri di dapur rumahnya. Sudah mikir bunuh diri walaupun masih anak. Pun dengan kejadian yang sempat menggemparkan warga Mojosari, pembunuhan karyawan toko gordyn.
Utang Rp 7 juta dibayar dengan nyawa. Setelah tiga pelaku diringkus polisi, diketahui otak sekaligus eksekusi pembunuhan itu dilakukan salah seorang pelaku yang merupakan teman SMA korban. Hingga sekelompok bocah yang menyebut dirinya gangster dengan memampang fotonya di media sosial sembari menggenggam senjata tajam. Ujungnya, bocah-bocah SMP itu diserahkan guru dan orang tuanya ke polisi. Miris sekaligus memalukan. Padahal, tindakan-tindakan itu bisa dibilang konyol.
Sedikit menoleh ke belakang, prinsip moral pun dialami Socrates, filsuf terkemuka Yunani. Empat ratus tahun sebelum masehi ia tewas akibat nekat menenggak racun. Padahal, level kecerdasan intelektual, sosial, mental dan budi pekertinya di atas rakyat jelata. Usut punya usut, kematian Socrates itu sebagai tanggung jawab moral daripada harus melarikan diri dari hukuman penjara yang direkayasa alias ketidakadilan peradilan.
Bagaimana pun juga, tidak satu pun norma, agama, maupun hukum yang membenarkan perilaku menyimpang hingga perbuatan keji tersebut. Lalu bagaimana itu bisa masif terjadi? Berbagai pihak menyebut itu dipicu terakumulasinya berbagai faktor. Terutama kemunduran di bidang sosial, ekonomi, budaya, hingga politik.
Morat maritnya moral makhluk yang lebih mulia dari jin ini mesti diobati. Ihwal ini menyangkut hubungan dan peran sosial masing-masing individu. Terutama aspek komunikasi dan sosialisasi yang positif. Contohnya, seperti yang terus dikampanyekan International Association for Suicide Prevention (IASP). Orang terdekat maupun lingkungan, mesti menjaga kepekaan sosial jika ada individu yang kesehatan mentalnya sedang krisis. Yakni dengan menumbuhkan harapan bagi mereka.
Lalu, siapa yang salah? Karena memang, dimana ada masalah, di situ ada (pihak) yang salah. Sudah barang tentu, pemerintah daerah. Walaupun di sini yang berkutat adalah rakyat jelata. Itu karena intervensi pemerintah ke lapisan bawah yang masih minim. Bahkan dalam aspek tertentu, masih nihil. Yang ditunggu-tunggu adalah fungsi pelayanan dan pemberdayaan yang berujung pada kesejahteraan. Baik kesejahteraan secara harfiah maupun kesejahteraan mental.
Di sini, pemerintahan desa atau kelurahan adalah unit pemerintahan terkecil dan (mestinya) paling dekat dengan masyarakat. Nyatanya? Mereka justru disfungsi bahkan mandul. Banyak peran yang terabaikan hingga masyarakat harus jalan dan menghadapi persoalannya sendiri.
Kalaupun belum mampu menggugah pemerintah desa atau kelurahan yang sedang tidur pulas, sektor pendidikan yang berkualitas dan menjangkau semua kalangan mesti diperkuat. Sebab, ilmu pengetahuan dan wawasan yang jernih bakal membuka nurani serta membentuk moral dan kepribadian yang baik. Sekaligus jadi penuntun rakyat yang dilepas pemerintah seorang diri di tengah belantara rimba.
Apalagi pola asuh orang tua zaman sekarang yang bergantung pada lembaga pendidikan untuk mengasuh anak-anaknya setiap hari. Karena para suami dan istri saat ini sudah sibuk diperkosa pekerjaannya masing-masing sejak pagi hingga malam. (*)