28.8 C
Mojokerto
Monday, May 29, 2023

Teknologi dan Profesi

Oleh: Indah Oce

PENDIDIKAN berkualitas landasan bagi peningkatan taraf hidup masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Pemerintah kerap memberikan pelayanan terbaik demi membantu terciptanya generasi masa depan. Berkali-kali, kurikulum berganti. Namun, nyatanya, masih banyak kemampuan tidak sesuai ekspektasi seperti yang diharapkan pemerintah. Banyaknya siswa yang masih mendapat nilai di bawah KKM (kriteria ketuntasan minimal) menjadi alasan pemerintah mencari jalan keluar.

Di zaman serba digital, diperlukan perubahan sistem pembelajaran. Digitalisasi yang datang seirama dengan industri 4.0 atau perlahan menuju 5.0-naif diabaikan. Bagi pemerintah maupun pengampu pendidikan, penting untuk menelaah apa yang bisa dilakukan di era ini. Apalagi, peserta didik telah memiliki cara belajar berbeda dibandingkan dengan generasi terdahulu.

Revolusi industri selalu terjadi. Selain dapat menyatukan dunia, baik dari yang digital maupun fisik, revolusi juga menawarkan peluang baru. Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah revolusi baru yang muncul dan mengarah pada dua sisi. Ancaman atau kesempatan. Dalam penggunaannya diperlukan pengawasan lebih lanjut, agar ancaman yang ada tidak ”melukai” pengguna. Perkembangan teknologi di sini dapat memfasilitasi masyarakat untuk lebih cepat dan update terhadap akses informasi. Namun, di sisi lain ada dampak yang tentunya berlawanan. Pengguna yang tidak bijak juga akan berdampak negatif ke depannya.

Semisal, dampak negatif dari tidak terkontrolnya penggunaan teknologi yang cukup signifikan. Potensi terjadinya learning loss dialami sebagian besar pelajar di masa pandemi Covid-19. Adanya disrupsi pandemi Covid-19 ini memunculkan kebijakan work from home oleh lembaga pendidikan. Walau begitu, tidak dipungkiri teknologi berperan besar dalam keberlanjutan pendidikan di masa mendatang. Pemanfaatan aplikasi atau media teknologi digital seperti Zoom, Google Classroom, Whatsapp menjadi media berkelanjutan mendukung pendidikan.

Untuk mempertahankan kelangsungan pendidikan dan proses belajar mengajar tentu saja, butuh peran banyak pihak. Khususnya, para pendidik. Perlu beradaptasi dan terbiasa dengan hadirnya teknologi pembelajaran agar bisa mengoptimalkan penataan teknologi.

Baca Juga :  Mudik Sebagai Tradisi Islam

Sementara, di sisi lain, dunia kesehatan juga turut merasakan pergeseran ini. Setidaknya ada tiga isu kesehatan diprediksi bakal mewarnai tahun 2023. Pertama, transisi status Covid-19 dari pandemi menjadi endemi. Meski dikatakan akan memasuki masa endemi di tahun 2023, bukan berarti pekerjaan sektor kesehatan akan menjadi ringan. Status endemi justru mengisyaratkan bahwa Covid-19 akan tetap ada meski ”magnitudonya” tidak sedramatis saat pandemi. Status ini sama dengan status sejumlah penyakit yang telah berada pada fase endemi. Seperti tuberkulosis, hepatitis, dan HIV/AIDS.

Kedua, banyak persoalan kesehatan lain yang membutuhkan penanganan segera. Fokus kesehatan diarahkan kepada penanggulangan Covid-19, yang akhirnya banyak program kesehatan lain terbengkalai. Salah satunya imunisasi dasar yang menurun sejak pandemi. Dari 84,2 persen menjadi 79,6 persen. Kekurangan cakupan ini mesti dikejar segera.
Ketiga, Kementerian Kesehatan RI telah menggagas program transformasi bidang kesehatan yang akan mulai diimplementasikan pada 2023. Program ini akan menyasar enam pilar, yaitu layanan primer, layanan sekunder, sistem pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia, dan teknologi kesehatan. Program ini terdengar sangat menarik dan menggiurkan. Namun, untuk mulai mengimplementasikannya pada 2023 kelihatannya akan berhadapan dengan banyak kendala. Pasalnya, negeri ini masih memiliki sejumlah persoalan kesehatan serius yang perlu diprioritaskan sebelum mengimplementasikan program lain.

Di antara persoalan serius tersebut ialah kesenjangan tiga aspek, yakni data, sarana kesehatan, dan tenaga kesehatan. Terkait dengan kesenjangan data, hingga kini data kesehatan pun belum seragam. Masih terdapat perbedaan data kesehatan antara institusi yang satu dan yang lain. Perihal, jumlah dokter di Indonesia saja, ada perbedaan antara Kemenkes dan IDI. Kemenkes menyebut jumlah dokter saat ini sekitar 130 ribu, sedangkan IDI menyebutnya masing-masing 178 ribu dan 200 ribu dokter. Kesenjangan data itu membuat lembaga kesehatan internasional tidak sepenuhnya mengandalkan data kesehatan Indonesia.

Baca Juga :  Keji! Pengusaha Dibunuh oleh Sopir Pribadi Terjadi di Garut

Selain kesenjangan data, kesenjangan sarana kesehatan juga terjadi. Terutama sarana pelayanan kesehatan primer. Itu terlihat dari penyebaran dan kualitas pelayanannya masih sangat jomplang antara satu dan lain. Masih banyak puskesmas yang tidak memiliki alat kesehatan standar. Di Mojokerto, hampir 35 persen puskesmas belum memiliki alat kesehatan standar. Selain itu, tenaga kesehatan, terutama dokter, juga tidak terdistribusi dengan baik. Maldistribusi dokter adalah persoalan klasik kesehatan sejak beberapa dekade lampau dan hingga kini belum terselesaikan. Hingga saat ini, masih terdapat jurang lebar terkait dengan jumlah dan rasio dokter tiap daerah. Maldistribusi dokter spesialis juga sama.

Di Mojokerto, kurang lebih terdapat 30 dokter spesialis. Akibat maldistribusi ini, hingga kini sekitar 5 persen puskesmas masih belum memiliki dokter sama sekali, dan 9 persen memiliki dokter, namun tempat tinggalnya jauh dari puskesmas. Kemampuan pelayanan puskesmas pun amat berbeda. Ada beberapa puskesmas yang telah dilengkapi oleh beberapa dokter spesialis dan siap memberikan pelayanan kesehatan, khususnya terkait 144 jenis penyakit yang dapat ditangani pada tingkat puskesmas. Namun, masih banyak puskesmas yang memiliki dokter baru lulus. Tetapi, keterbatasan sarana dan prasarana, belum dapat memberikan pelayanan kesehatan dasar. Ini membuat kualitas layanan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.

Adanya kesenjangan data, sarana, dan tenaga kesehatan ini membuat program transformasi kesehatan akan mengalami hambatan serius. Penyelesaian kesenjangan ini perlu dilakukan pada 2023 sebelum meluncurkan program lain yang lebih komprehensif. Meski pandemi akan bertransisi menjadi endemi tahun depan, bukan berarti beban bidang kesehatan akan menjadi ringan. Berbagai persoalan dasar tapi krusial perlu segera ditangani sebelum meluncurkan program yang lebih komprehensif, termasuk transformasi bidang kesehatan. Bila tidak, besar kemungkinan program ini terkendala serius atau bahkan mengalami kegagalan implementasi. Semoga mampu. (*)

Artikel Terkait

Most Read

Rapor Pemain jadi Penentu

RSUD Akui Sembrono

Bawaslu Kirim Hasil Pemeriksaan ke KASN

Artikel Terbaru

/