31.8 C
Mojokerto
Friday, June 9, 2023

Antara Pikir, Zikir dan Zakar

Oleh: Hakam Al Faqih*

BULAN suci ini adalah peluang besar bagi kita untuk menentukan di mana posisi kita sebagai manusia. Dan merekonstruksi kembali arah hidup yang kurang tepat dan kurang bermanfaat, juga mengoreksi ulang apa motif laku kehidupan yang kita jalani selama ini. Sehingga kita bisa menemukan arah baru (dengan kesadaran diri yang lebih dalam) yang lebih tepat dan bermanfaat dari hidup kita sebelumnya.

’’Menjadi laki-laki itu harus mampu memadukan pikir dan zikir. Atau laki-laki paling minimal, pilih salah satu, berzikir atau berpikir. Jika hal ini tidak dilakukan, maka laki-laki hanya sesosok zakar!’’

Semakin tahun berganti, mencari sesosok laki-laki sejati sebagaimana ungkapan di atas sudah sangat sulit. Meski pun di dalam sebuat tempat di mana sering mengkaji perintah-perintah Tuhan, tadzakkarun wa tafakkarun. Sebenarnya penelitian tentang sesosok laki-laki belum pernah secara rinci saya lakukan. Tetapi rasanya pembuktian hipotesis tersebut cukup dengan melihat realita yang ada.

Realitas kontemporer kita sekarang dihadapkan pada masalah demi masalah yang kompleks. Belum selesai masalah yang satu, timbul masalah yang lain. Belum selasai satu kasus, sudah timbul yang lainya. Hal ini masih dibilang wajar (sekalipun sebenarnya kewajaran ini kurang ajar) jika masyarakat cukup cermat, peduli, dan memikirkan solusinya. Tetapi sekarang seiring berjalannya waktu, kategori ’wajar’ yang seharusnya publik tahu, mengerti, dan tak tertipu oleh kamulfase para mafia, justru semakin tidak mau tahu, tidak peduli, dan seolah-olah semuanya baik-baik saja, adem ayem.

Baca Juga :  Kodim 0815 Mojokerto Pastikan Pelaksanaan Tugas Berjalan Lancar

Dan hal-hal yang menyangkut realita tersebut mempunyai kaitan yang menarik dengan pikir, zikir, dan zakar yang bukan hanya bersinggungan, bahkan berbenturan. Pikir, secara nomina menurut kamus bahasa Indonesia disebut akal budi. Tapi di sini kita menelaahnya dalam segi adjektifannya, yaitu proses penggunaan rasio untuk mencari, merumuskan, dan menemukan suatu hal (masalah) dengan cara sungguh-sungguh.

Berpikir bukan hanya induksi kotak-kotak dalam IQ, tapi lebih menggunkan fuadun (bagian hati yang berfungsi merumuskan kebenaran setelah berunding dengan qolbun). Atau menurut kajian psikologi, IQ adalah implementasi dari 15 persen dari fungsi otak. Dan Einsten adalah salah satu orang yang bisa menggunakan sekitar 7 persen dari 15 persen jumlah total yang bisa digunakan. 3 persennya dimiliki oleh otak belakang, sementara 82 persen dari hal tersebut terintrepetasikan menjadi intuisi, imajinasi, dan hal-hal lain yang mempunyai sinkronisasi dengan emosi, mental, dan hati.

Jadi, bisa dibilang berpikir menggunakan fuadun adalah penggabungan pengetahuan yang diperoleh IQ dan faktor general yang menjadi mayoritas, 82 persen.

Zikir adalah proses mengingat asma Tuhan (Allah) dengan kalimat tasbih, tahlil, istighfar dan banyak lainnya yang bertujuan pada suatu progres tazkiyatun nafsi yang disebabkan oleh kontaminasi dosa. Seperti kurang lebih yang banyak dijelaskan dalam kajian perspektif tasawuf.

Baca Juga :  Gusti Ayu Tetaviana Callula Arameita, Akrab dengan Dunia Musik Sejak Kecil

Sementara ketiga adalah zakar, -sebutan untuk kemaluan laki-laki dalam bahasa Arab-. Dari zakar inilah para laki-laki yang masih muda (perjaka) memunculkan zunub dari banyaknya maksiat yang dia lakukan.

Jadi, kesimpulan teringkas yang bisa diambil dari definisi tersebut adalah pikir untuk mengambil keputusan dan mengingatnya, zikir untuk menggantungkan hasil pikir menurut telaah ridlo Tuhan, dan zakar untuk menggagalkan keduanya. Seperti disebutkan dalam sebuah bait dalam kitab Ta’lim. Al ilmu (hasil konjungsi pikir dan zikir) nurun, wa nurullah la yuhda lil‘ashiy.

Dan yang terjadi pada hari-hari ini, laki-laki (dan mungkin juga perempuan?) lebih banyak memfungsikan zakar (maaf) ketimbang zikir dan pikir. Cukup susah sekarang mencari laki-laki yang punya kesalehan spiritual dan kesalehan sosial sebagai manifestasi dari zikir dan pikir.

Fakta ini bisa kita lihat secara sederhana dalam keseharian kita. Bila diwajibkan untuk jujur, sebagai manusia, bukan sebagai hamba Tuhan -yang memang terkena tuntutan harus jujur karena dosa bila tidak melakukannya-, dan juga meskipun tanpa menafikkan aktivitas kewajiban dalam keseharian, mana yang lebih mendominasi dalam diri dalam setiap hari yang dilalui. Pikir dan zikir? atau justru memikirkan dan menuturkan zakar yang eksplorasinya berjalan searah dengan segala pemenuhan hasrat dan kebodohan yang ditimbulkannya? bagaimana menurut Anda?. (*)

*Pengasuh PP Al Muawanah Medali, Puri

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/