Oleh: Muhammad Ali Rohmad
DI bulan Ramadan kita diwajibkan melaksanakan puasa sebagai sarana untuk mendekatkan kepada Allah SWT. Namun jangan sampai dengan mendekat kepada Allah, menyebabkan kita menjauh dari manusia. Hablumminallah dan hablumminannas harus berjalan dengan baik, tanpa ada yang dikalahkan.
Puasa yang secara bahasa adalah menahan, menuntut kita bisa menahan dari hal-hal yang dilarang Allah dan menahan dari hal-hal yang tidak disukai oleh manusia. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahan fisik dan psikis dari perilaku buruk.
Puasa merupakan amalan yang sifatnya pribadi, namun bisa berdampak sosial. Ibadah puasa tidak kasat mata dan menjadi rahasia antara pribadi dengan Tuhannya. Kalau pun ada indikator fisik yang bisa dilihat, itu mungkin hanya badan yang terlihat lemas atau bibir kering. Tetapi tidak semua orang yang badannya lemas dan bibirnya kering itu berpuasa.
Ini berbeda dengan ibadah lain, seperti salat, zakat, dan haji yang kasat mata dan mudah diketahui orang lain. Namun, meski sifatnya sangat pribadi, puasa ternyata memiliki dampak sosial yang besar, di antaranya dapat memupuk sikap toleran kepada orang lain. Para pemimpin dan seluruh elemen masyarakat harus mampu mengambil pelajaran dari ibadah puasa ini.
Melalui puasa, Allah SWT menumbuhkan toleransi dan empati terhadap sesama melalui pengalaman rasa lapar dan dahaga. Tetapi toleransi dan empati ini masih bersifat pasif. Dan melalui zakat, kepekaan pasif itu diubah menjadi toleransi dan empati aktif, di mana seorang muslim diperintahkan untuk melakukan aksi berderma dan bersedekah secara nyata.
Zakat selain berfungsi untuk mensucikan harta, juga berfungsi mewujudkan kesejahteraan sosial dengan distribusi kekayaan. Orang kaya peduli terhadap orang-orang miskin, dan orang miskin pun tidak mengusik harta orang kaya karena kebutuhan mereka diperhatikan dan disantuni. Inilah wujud solidaritas hakiki umat Islam yang bersaudara seperti diilustrasikan Allah SWT dalam QS. Al-Hujuratayat 10 yang artinya, ’’Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati’’.
Dalam Zakat, ada juga pelajaran untuk memberi. Misalnya memberi maaf atas segala kesalahan. Jika semua pihak berebut untuk memberi maaf, maka konflik akan mudah diselesaikan. Ada juga pelajaran berbagi dalam ibadah zakat, misalnya berbagi kebahagiaan.
Hal ini akan menuntut agar manusia tidak saling menyakiti, meskipun berbeda pendapat. Aksi unjuk rasa sebagai sarana menyampaikan pendapat, seringkali berakhir ricuh dan disertai dengan tindakan anarkis. Hal ini tidak akan terjadi lagi jika semua pihak dapat mengambil pelajaran dari puasa dan zakat. Unjuk rasa memang salah satu cara menyampaikan aspirasi, tetapi bukan satu-satunya. Maka semua harus dapat menahan diri, serta dapat saling berbagi kebaikan di bulan suci ini. (*)
*) Penulis adalah Ketua Yayasan Al Khasaniyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UNIM