SEMENTARA itu, keberhasilan percobaan tanaman kedelai varietas baru di Landbouw Mojosari membuat petani setempat beralih menanam kedelai. Sayangnya, keberadaan balai penelitian tersebut hanya bertahan seumur jagung seiring datangnya tentara Jepang di Mojokerto.
Ayuhanafiq menambahkan, antusiasme petani lokal terlihat sejak awal percobaan penanaman di 1930-an. Setidaknya, 70 persen petani di wilayah Kawedanan Mojosari terlibat dalam penanaman kedelai dari Balai Pertanian Bogor tersebut.
Yuhan mengatakan, tingginya minat tersebut tidak lepas dari kalangan petani Mojosari yang tergolong berpikiran modern. Karena sebagian sudah mengenal dan bergabung dengan organisasi serikat tani maupun menjadi anggota koperasi petani. ’’Saat itu di Kawedanan Mojosari sudah terbentuk organisasi Rukun Tani yang berbasis di Kutorejo,’’ ulasnya.
Sehingga, landbouw voorlichting dients atau dinas penyuluhan pertanian tak kesulitan untuk mengajak petani melakukan uji coba tanaman tertentu. Khususnya kedelai yang menjadi varietas unggulan saat itu.
Namun, setelah resmi didirikan, Landbouw Mojosari tidak mampu bertahan lama. Keberadaannya hanya seumur jagung atau beroperasi sekitar dua tahun lebih. ’’Landbouw Mojosari ditutup setelah kedatangan pasukan Jepang,’’ tandas Yuhan.
Selama masa pendudukan Jepang 1942-1945, hektaran lahan percobaan pun menjadi tak terurus. Para pegawai berdarah Belanda juga ditangkap tentara Nippon dan dijadikan tawanan perang.
Namun, setelah proklamasi kemerdekaan, bangunan yang berada di Desa Kebondalem, Kecamatan Mojosari, itu kembali dioperasikan. Kompleks perkantoran tersebut berubah nama menjadi Kebun Percobaan Mojosari dan berfungsi sebagai Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbang), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jatim. (ram/abi)
