24.8 C
Mojokerto
Sunday, June 11, 2023

Bermukim di Pecinan, Dirikan Kelenteng untuk Peribadatan

Momentum Imlek atau Tahun Baru China disambut meriah warga etnis Tionghoa di Mojokerto. Di kompleks kelenteng sudah bersolek dengan berbagai ornamen khas Negeri Tirai Bambu. Sejumlah lampion juga menghiasi kawasan perniagaan yang dulu merupakan kampung Pecinan.

Diperkirakan, sudah lebih dari dua abad yang lalu warga etnis Tionghoa telah bermukim dan berbaur dengan masyarakat di Mojokerto. Bahkan, keberadaannya sudah terlacak sejak bentuk wilayah masih berstatus Kadipaten Japan di pertengahan abad ke-18.

Sejarawan Mojokerto Ayuhanafiq mengungkapkan, awal kedatangan keturunan China di Mojokerto sebagian besar dari jalur perdagangan. Jumlah etnis Tionghoa terus meningkat pasca diberlakukannya kebijakan ekonomi pintu terbuka di abad ke-19. ’’Kebijakan itu membuat pertumbuhan industri gula di Mojokerto berkembang pesat. Sehingga kedatangan etnis China juga terus meningkat,’’ ujarnya.

Pasalnya, tak hanya taipan asal Eropa yang berpeluang mengembangkan bisnis di Mojokerto. Namun, kesempatan yang sama juga terbuka bagi pengusaha dari kalangan etnis Tionghoa. Salah satunya The Boen Kie, pengusaha keturunan Tionghoa asal Surabaya yang mendirikan Pabrik Gula (PG) Ketanen di Kecamatan Kutorejo.

Baca Juga :  Terpapar Covid, Bapaslon Tak Bisa Dicoret

Sejumlah pabrik gula juga tersebar di wilayah kecamatan lainnya. Maraknya industri gula itu menjadi salah satu alasan etnis Tionghoa berhijrah ke Mojokerto. ’’Kebanyakan berprofesi sebagai pedagang perantara dan juga tenaga kerja terampil di pabrik-pabrik gula,’’ tandasnya.

Pria yang akrab disapa Yuhan ini menyebut, mulanya, keturunan Tionghoa itu tinggal berdampingan dengan warga pribumi di Mojokerto. Namun, makin meningkatnya jumlah warga keturunan asing timur tersebut, membuat pemerintahan kolonial mulai risau.

Untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial, maka kolonial membuat aturan pembatasan tempat tinggal bagi etnis Tionghoa. Kebijakan yang dikenal dengan wijkenstelsel itu mengatur warga keturunan Tionghoa untuk bermukim di satu perkampungan khusus.

Area tempat tinggal itu telah ditentukan dan ditetapkan batas-batas wilayahnya oleh kolonial. ’’Kawasan itu lalu disebut sebagai kampung Pecinan,’’ tandas Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Dewan Kebudayaan Daerah (DKD) Kota Mojokerto ini.

Kawasan Pecinan ditempatkan Jalan Mojopahit, Kota Mojokerto. Mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai pedagang membuat kawasan Pecinan itu menjadi pusat perniagaan. Selain itu, di kawasan tersebut juga dibangun Pasar Kliwon yang menjadi pasar tradisional tertua di kota. ’’Jumlah komunitas peranakan Tionghoa kemudian semakin besar. Bahkan, populasinya mencapai 10 persen dari penduduk kota di tahun 1930-an,’’ ulasnya.

Baca Juga :  Pengacara Bharada E Siap Hadiri Sidang Gugatan Hari Ini

Yuhan menambahkan, luasnya persebaran etnis Tionghoa di Mojokerto membuat pengelompokan tidak bisa dilakukan di satu titik. Selain itu, sentralisasi penduduk tersebut juga dikhawatirkan mengganggu sistem perekonomian dari sektor perniagaan. ’’Sehingga, diputuskan untuk membuat titik lokasi sebagai kampung Pecinan yang ditetapkan di Mojosari,’’ imbuh Yuhan.

Di dua kawasan Pecinan itu kemudian dibangun kelenteng untuk kebutuhan peribadatan etnis Tionghoa. Tempat ibadah tri dharma (TITD) itu masing-masing adalah kelenteng Hok Sian Kiong yang dibangun 1823 di Jalan P.B Sudirman, Kota Mojokerto. Sementara di Mojosari juga didirikan TITD Hiap Thian Kiong yang diperkirakan dibangun tahun 1897. (ram/abi)

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/