24.8 C
Mojokerto
Friday, June 9, 2023

Saya Mata Duitan

’’Orang baik tak perlu hukum untuk memberi tahu mereka agar bertindak secara bertanggung jawab. Sementara orang-orang yang jahat akan menemukan jalan di sekitar undang-undang.’’ Plato

RAKYAT sudah bosan dengan politik. Rakyat sudah sangat muak dengan kelakuan anggota DPR/DPRD-nya. Yang gaji dan fasilitasnya luar biasa, tapi hasilnya dinilai tidak memadai. Wakil rakyat biasanya dekat dengan hal-hal yang berbau kenekatan. Yang keluar dari mulut politisi dan wakil rakyat biasanya hal yang berbau kepentingan yang ujungnya adalah uang.

Seperti dikejar ’’setoran’’, wakil rakyat terobsesi untuk mengembalikan cost politik yang dikeluarkan selama kampanye. Tak heran jika kemudian hampir semua anggota wakil rakyat sudah ’’menggadaikan’’ beslit ke bank-bank dengan cicilan selama lima tahun full. Praktis, wakil rakyat daerah selama lima tahun hanya makan gaji ’’sisa-sisa’’.

Imbasnya wakil rakyat pun menjadi ’’gelap mata’’ dan menghalalkan segala cara untuk mengeruk pundi-pundi keuangan daerah demi kantong pribadi. Agak konyol memang, untuk hal yang sudah digariskan undang-undang, mereka nekat melanggar dengan alasan klasiks.

Syarat menjadi anggota wakil rakyat memang cukup mata duitan. Cukup bisa menghitung kebutuhan dari mulai dapur rumahnya hingga uang bensin. Beres. Kalau syarat yang lain-lain, hanya lampiran. Bahkan syarat ’’wakil rakyat’’ yang semestinya mutlak dipenuhi lahir batin, ternyata bukan yang utama. Karena sejauh ini wakil rakyat memang tidak diwajibkan bertanggungjawab sebagai wakil rakyat, namun sebagai wakil dirinya sendiri. Tak ada parameter yang memaksa wakil rakyat secara moral bertanggung jawab kepada rakyat.

Sejauh ini, sebagian besar tanggung jawab wakil rakyat ditumpahkan kepada konstituen sekali waktu. Ketika ada kegiatan reses, mereka cukup menyajikan makanan dan minuman plus uang saku ala kadarnya, maka yang namanya status wakil rakyat, kian melekat di baju safarinya. Atau sesekali mengusulkan proyek jaring aspirasi masyarakat (jasmas) di sejumlah kampung atau jalan atas nama wakil rakyat ini atau itu, maka tanggung jawab itu gugur alamiah. Padahal tak sedikit, dari reses atau jasmas, wakil rakyat juga memetik buah keuntungan yang dalam hal ini diatasnamakan rakyat.

Persoalan syarat menjadi wakil rakyat yang sederhana itu memang sebangun dengan tugas wakil rakyat yang sebenarnya juga sederhana. Betapa tidak, tugas wakil rakyat cukup menghitung berapa penghasilan mereka selama setahun anggaran APBD. Itu terjadi di awal tahun penyusunan.

Para wakil rakyat rata-rata akan fight dan getol membahas anggaran jika sudah berhubungan dengan periuk nasinya. Gaji, tunjangan perumahan, tunjangan makan, tunjangan rapat hingga tunjangan bensin, mereka akan hafal diluar kepala. Untuk mendukung hal itu, disiapkan atau dilengkapi dengan aturan-aturan. Kalau pun melanggar, memang, wakil rakyat ramai-ramai akan mengatakan: tidak tahu! Kasus gratifikasi DPRD Kota Mojokerto misalnya menguatkan hal tersebut. Angka Rp 5 juta yang dikembalikan wakil rakyat secara ramai-ramai awalnya dianggap lupa atau dilupakan. Jika tak dibongkar KPK tentu mereka akan aman-aman tanpa punya inisiatif mengembalikan. Karena telanjur ketahuan, akhirnya dengan sangat terpaksa ditambah rasa takut yang luar biasa untuk mengembalikan.

Baca Juga :  Bangun Sekolah dan Bentuk Klub Sepak Bola

Atau misalnya ketika membahas PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mereka bakal all out memperjuangkan hingga mendapat pencerahan. Kelihatan sekali dalam kondisi seperti ini, wakil rakyat benar-benar menjadi wakil rakyat. All out, pintar dan semangat.

Kecermatan wakil rakyat dalam ilmu berhitung ini terlihat jelas ketika mereka memasukkan sejumlah tunjangan dengan sempurna. Di Kabupaten Mojokerto misalnya, tunjangan wakil rakyat terbilang wah. Mulai dari tunjangan perumahan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan keluarga, jaminan kesehatan, tunjangan reses hingga tunjangan transportasi. Cukup lengkap. Jika ditotal jenderal, maka anggota wakil rakyat Kabupaten Mojokerto bisa mendapat penghasilan sebulan sebesar Rp 35 juta hingga Rp 50 juta. Percaya?

Harus percaya. Karena saat ini saja wakil rakyat meraup angka Rp 22 juta. Jika disesuaikan dengan PP No 18 Tahun 2017 yang angka belum ketemu, maka bisa jadi nambahnya dua kali lipat. Dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Mojokerto yang mencapai Rp 500 miliar lebih selayaknya wakil rakyat mendapat tambahan penghasilan hingga tujuh kali lipat! Fantastis. Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) memberikan sinyal bakal menaikkan hingga lima kali lipat. Angkanya jika dihitung ’’ini itu’’ di kisaran Rp 50 juta-an. Itu pun belum termasuk tunjangan transportasi.

Nah, untuk persoalan ini, para wakil rakyat (baik pusat maupun  daerah) sama-sama pintar. Yang pasti, pandai ilmu hitung. Namun untuk anggaran nonkepentingan wakil rakyat, mereka kembali loyo. Coba bandingkan dengan bagaimana all-out-nya mereka memperjuangkan pendidikan, kesehatan masyarakat dan sebagainya-dan sebagainya yang nggak pernah nyampai tujuan. Atau, bagaimana mereka menjadi loyo ketika tidak maksimal memperjuangan belanja publik yang hanya diciprati sana-sini.

Ironisnya ketika ada peningkatan satu pos anggaran untuk publik, wakil rakyat ramai-ramai menyebut dirinya sebagai pahlawan yang ikut menaikkan anggaran untuk rakyat. Rakyat yang mana? Tidak aneh dan memang wakil rakyat tak perlu syarat neko-neko, cukup mata duitan, sudah bisa mendapat guyuran penghasilan puluhan juta rupiah. Rasanya cocok jika wakil rakyat diberi hastag: Saya Mata Duitan!

Baca Juga :  Desainer Grafis Asal Kota Malang Masuk Lima Besar Nominasi Logo IKN

Semangat menambah gaji wakil rakyat tak lain adalah semangat menghilangkan praktik korupsi di tubuh lembaga legislatif ini. Dengan gaji dan fasilitas wah, wakil rakyat diharapkan tak berperilaku koruptif lagi. Meminta uang dok APBD atau perda, memeras Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau tidak terlihat suap sana-sini. Apakah ini jaminan? Tidak juga, karena jika wakil rakyat memang berperilaku koruptif dan tertabiat pengeruk uang, maka selamanya, meski dinaikkan gajinya bakal mengeruk uang secara ilegal. Hanya satu-dua wakil rakyat yang terhindar.

Seperti saripati Teori Relativitas Albert Einstein si jenius asal Kota Ulm, Jerman yang coba di-jlentreh-kan dengan analogi sederhana oleh Carnegie (1983:19): ’’Jika Anda duduk di samping seorang wanita cantik selama satu jam, Anda menganggapnya satu menit, akan tetapi jika Anda duduk di atas sebuah tungku panas selama satu menit, maka seperti satu jam.’’  Tergantung bagaimana merasakannya, apakah menjadi nyaman dan tidak di kursi yang sama.

Menjadi wakil rakyat memang syaratnya cukup mata duitan. Bahkan kalau disimak secara blak-blakan betapa banyak caleg yang lain berijazah palsu atau sama sekali tak pernah sekolah. Bisa di DPRD Kabupaten Mojokerto atau DPRD Kota Mojokerto. Tiba-tiba mereka sudah SSos, SE, SPd, SH atau S campur. Bahkan gelar-gelar yang tiba-tiba menempel di belakang nama wakil rakyat secara tiba-tiba patut dipertanyakan palsu atau tidak?

Dari sudut pandang demikian, ijazah palsu bisa dibandingkan dengan uang palsu, cek kosong, atau barang dagangan palsu. Itu hanyalah alat sebagai siasat mengejar harta, yang bisa diterjemahkan menjadi kuasa. Alat-alat itu beredar dengan nilai memukau dan sesuatu yang ampuh dalam sebuah lingkungan sosial tertentu dan terbatas. Yakni masyarakat yang menghargai ijazah resmi, uang sungguhan atau cek asli. Dan soal palsu memalsu ini, wakil rakyat memang pakarnya. Seperti sebuah potret kepalsuannya, sederhananya syarat menjadi wakil rakyat, sesederhana mereka memandang persoalan rakyat dan menyelesaikannya.

Kursi wakil rakyat makin empuk saja. Kabar kenaikan gaji dan tunjangan DPRD yang diembuskan Kementerian Dalam Negeri kian menambah empuk jabatan legislatif, yang sejatinya representasi suara rakyat itu. Padahal, mereka cuma ’’wakil’’ tapi gaji dan fasilitasnya bertumpuk-tumpuk. Bagaimana dengan yang diwakilinya alias rakyat? Justru sebaliknya.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/