DAHULU anak-anak menangkap belalang sebagai mainan yang menggembirakan. Dan setelah puas bermain, tangkapan belalang yang belakangnya diikat menggunakan benang itu dilepas kembali.
Namun, berbeda dengan tradisi warga asal Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto. Bagi mereka, belalang merupakan lauk yang wajib ada di atas nasi tiwul hangat. Sebagai makanan khas mereka. Meski sebenarnya tak memahami betul kandungan protein belalang yang cukup tinggi, serta baik bagi kesehatan.
Terutama, pada anak usia pertumbuhan. ”Asal ada menu belalang di atas nasi untuk dikonsumsi mereka sudah sangat senang. Lama-kelamaan belalang goreng menjadi makanan khas warga,” tutur Siswanto, salah satu warga Dawarblandong. Memang, kondisi zaman dahulu dan sekarang berbeda. Saat ini ekonomi mereka perlahan membaik.
Anak-anak di pelosok pedesaan sudah menggunakan kendaraan bermotor, dan memiliki fasilitas akses internet yang mudah dan cepat. Nah, kemajuan informasi teknologi (IT) itulah yang kini turut dimanfaatkan Fatmawati. Ibu muda tiga anak tersebut memunculkan kembali ciri khas khasanah kudapan berupa cemilan belalang. Di mana, kuliner ini telah lama punah dan kembali ia hadirkan.
Bedanya, jika dulu belalang mudah didapat di kebun-kebun jagung dan di antara kebun tebu, sekarang serasa susah ditemukan. ”Mungkin karena banyaknya pestisida yang disemprotkan,” ungkapnya. Untuk mendapatkan belalang, Fatmawati mempunyai tim khusus pemburu belalang.
Biasanya mereka mencari binatang serangga alam itu di malam hari. Perburuan belalang bahkan meluas ke wilayah Gresik dan Madura. Dari tim ini, ia membelinya seharga Rp 130 ribu per kg. Saat Mata Lensa mendatangi rumahnya di Desa Suru, Kecamatan Dawarblandong, Rabu (20/2) lalu, Fatma terlihat sedang dibantu ibunya, Sutinah. Mereka sibuk menyiapkan bumbu yang akan dijadikan cemilan walang goreng.
Tangan Sutinah cekatan merogoh kantong jaring yang berisi belalang untuk dibersihkan. Bagian kaki belalang terdapat duri disisihkan satu per satu. Tak jarang, telapak Sutinah pun tertusuk gerigi duri belalang itu. Namun, baginya hal itu sudah menjadi kebiasaan. ”Ini sebagai bagian dari proses untuk mendpatkan uang,” ujarnya.
Permintaan pasar tak hanya dari masyarakat sekitar. Namun, juga dari berbagai pulau di luar Jawa. Seperti Kalimantan dan Sumatera. Fatma mengemas dalam plastik klip dan mengirimkan via pos atau jasa paketan lainnya. Ia membanderol cemilan itu seharga Rp 380 ribu per kg.
Sungguh tak disangka, cemilan yang dulu terkesan makanan rendahan, kini bernilai tinggi. Harganya tiga kali lipat dari satu kilogram harga daging sapi. Fatmawati mengaku akan terus memproduksi cemilan serangga dengan nama latin caelifera ini hingga habis masa tanam atau musim semi.
Biasanya, saat masa tanam berakhir, belalang pun musnah entah ke mana. Sampai akan datang masa tanam berikutnya. Lumayan dalam masa penjualan belalang ia bisa meraup keuntungan hingga Rp 1 juta per minggu. ”Mobil yang terparkir di teras rumah itu hasil penjualan belalang musim lalu,” katanya.