SEMENTARA itu, meski namanya semakin dikenal luas sebagai seorang penulis, tetapi Iesmaniasita tetap menggeluti profesinya sebagai pendidik. Pekerjaan sebagai pendidik terus digelutinya hingga pensiun.
Ayuhanafiq menjelaskan, sebagai penulis produktif, pekerjaan menulis saat itu masih belum bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Sebab, penghasilan yang diterima terbilang kecil. Meskipun predikat sebagai pengarang tentu membanggakan. ’’Oleh karena itu Iesmaniasita beruntung memiliki pekerjaan lain di luar profesinya sebagai seorang penulis,’’ paparnya.
Yuhan mengatakan, Iesmaniasita termasuk penyair Jawa berbakat. Di samping mampu menulis karya sejak muda, goresan penanya tidak sekadar mengungkapkan kesedihan secara pribadi. Sejumlah puisi-puisinya juga menuangkan kritik terhadap sikap dan perilaku manusia.
Tak hanya itu, di dalamnya juga diimbangi dengan motivasi pengarang untuk menggugah dan menyadarkan angkatannya agar tidak hanya berpangku tangan. Selain itu, Iesmaniasita termasuk pengarang Jawa modern pertama yang mulai mengolah hal-hal yang berhubungan dengan hal yang bersifat gaib. Seperti yang ada dalam beberapa cerpen antologi Kidung Wengi ing Gunung Gamping.
Yuhan menambahkan, Iesmaniasita mengakhiri profesi sebagai pendidik saat purnajabatan dari Kepala SDN Wates, Kota Mojokerto. Di masa pensiunnya, Iesmaniasita kemudian menghabiskan masa tuanya di rumah yang ada di Jalan Jokotole, Kota Mojokerto. Pengarang perempuan itu meninggal pada 8 April 2000. ’’Iesmaniasita hidup sendiri hingga akhir hayatnya,’’ pungkasnya.