SELAMA tinggal di Kota Mojokerto, Soekarno juga berkesempatan mengenyam pendidikan. Bahkan, selama kurang lebih 9 tahun berdomisili di Kota Onde-Onde, buah hati dari pasangan Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ini berhasil menamatkan bangku pendidikan setingkat sekolah dasar (SD).
Sejarawan Mojokerto, Ayuhanafiq menuturkan, pendidikan Soekarno di Mojokerto dimulai di Inlandsche School. Lembaga pendidikan setingkat SD itu tak lain adalah tempat mengajar ayahnya, Soekemi. Inlandsche School juga disebut sebagai Tweede School atau Sekolah Ongko Loro.
Penyematan tersebut karena peruntukannya untuk menampung anak pribumi yang saat itu masih dianggap warga kelas dua. Saat Soekarno masuk di Sekolah Ongko Loro, setidaknya terdapat 30 siswa. Karena belum ada bahasa persatuan Indonesia, lembaga pendidikan itu menggunakan bahasa Jawa untuk kelas I sampai kelas III.
Sedangkan pada tingkat di atasanya menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantarnya. ”Di Sekolah Ongko Loro hanya sampai lima tingkat untuk bisa lulus,” ujarnya. Inlandsche School merupakan cikal bakal berdirinya SDN Purwotengah. Hingga saat ini, lima ruang kelas di sekolah yang berada di Jalan Taman Siswa itu masih dipertahankan keasliannya.
Termasuk lapangan bermain atau speelveld yang berada di belakang gedung sekolah. Pria yang akrab disapa Yuhan ini menuturkan, Soekemi berkedudukan selaku mantri guru. Di Ongko Loro, kepala sekolah tidak boleh dijabat oleh warga pribumi. Hanya orang berkebangsaan Belanda atau Eropa yang bisa mendudukinya.
Dia menjelaskan, belum ada data tertulis sejak di bangku kelas berapa Soekarno menyengam penddikan di InlandscheSchool. Koesno, nama asli Soekarno waktu kecil, cukup mudah bergaul dengan dengan murid lainnya. Pertemanan itu tanpa sekat karena sama-sama warga lokal.
Akan tetapi, ketika kenaikan kelas dari kelas IV ke kelas V, orang tuanya menginginkan Soekarno untuk melanjutkan ke jenjeng sekolah yang lebih tinggi. Sehingga, Soekemi mengurus kepindahan putra keduanya itu ke sekolah Eropa di Mojokerto. ”Karena saat itu lulusan dari Sekolah Ongko Loro tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi,” paparnya.
Sekolah yang dituju adalah Europesche Lagere School (ELS). Yuhan menyebut, sekolah yang berada di Jalan Kabupaten (kini Jalan A. Yani) itu memang dikhususkan untuk menampung siswa Belanda. Kalaupun untuk warga pribumi, hanya diperuntukkan bagi keturunan priyai.
Untuk memuluskan rencana melanjutkan sekolah putranya ke ELS, Soekemi kemudian meminta bantuan kepada Kepala Inlandsche School. Hingga akhirnya, Soekarno resmi pindah di ELS. Berbeda dengan Inlandsche School yang dindingnya hanya dari bambu, ELS yang notabene Eerteste Klasse atau sekolah kelas satu sudah dindingnya terbuat dari kayu.
Tak hanya itu, bangku belajarnya juga dilengkapi dengan laci dan tempat meletakkan tinta. Sementara tingkat kelulusannya juga berbeda. Yaitu, mulai kelas I sampai kelas VI, sama seperti lembaga SD saat ini. Mantan Ketua KPU Kabupaten Mojokerto ini menyebutkan, sistem pembelajaran ELS juga menggunakan standar pendidikan Belanda.
Bahasa pengantarnya pun menggunakan bahasa nasional Negeri Kincir Angin. ”Lulusan ELS juga dipersiapkan untuk menjadi pejabat pemerintah (Hindia Belanda). Selain itu juga untuk pegawai perusahaan level menengah,” ulasnya.
Di sisi lain, lulusan ELS dibolehkan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Alasan itu lah yang membuat Soekemi memindah Soekarno dari Sekolah Ongko Loro. Namun, sebagai salah satu syarat utama untuk bisa masuk ke ELS, calon siswa harus memiliki kemampuan membaca dan menulis bahasa Belanda.
Syarat itu lah yang kemudian sempat menjadi batu ganjalan bagi Soekarno. Sebab, bocah yang kala itu berusia 10 tahun tersebut tidak cukup piawai berbahasa Belanda. Akibatnya, saat menjalani tes masuk, Soekarno dianggap belum layak untuk duduk di bangku kelas V.
”Bung Karno tetap diterima di ELS. Tapi, harus tetap di kelas IV,” sebutnya. Masuk di sekolah kasta kelas satu tidak lantas membuat Soekarno bahagia. Sebab, sebagai anak pribumi, siswa lainnya kerap mendapat cacian, bahkan direndahkan. Seiring waktu berjalan, dia dipertemukan dengan Maria Paulina De La Rieviere.
Seorang pengajar bahasa Belanda tersebut sengaja diminta oleh Soekemi untuk membantunya putranya. Di samping itu, Soekarno juga dekat dengan siswi ELS bernama Rika Meelbuysen yang membuatnya semakin fasih berbahasa Belanda.
Sampai akhirnya, perjalanan pendidikan setingkat SD di Mojokerto berhasil ditamatkan. Putera Sang Fajar itu kemudian melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Setelah peralihan zaman, ELS sempat berubah menjadi lembaga pendidikan guru dan saat ini menjadi SMP Negeri 2 Kota Mojokerto.
Sejak saat itu, dia meninggalkan Mojokerto. Di Kota Pahlawan, Soekarno tinggal di rumah teman Soekemi ketika masih di Surabaya. Tak lain adalah H.O.S Cokroaminoto yang kemudian menjadi salah satu orang yang mempengaruhi kedidupan Soekarno muda. (habis/rizal amrulloh)