Kesenian tradisional wayang tumbuh subur di kawasan Balongrawe Baru. Salah satu sosok penguri-uri kebudayaan Jawa ini adalah Malkan. Dalang yang sekaligus mempunyai keterampilan membuat wayang.
MATAHARI tak begitu terik. Awan mendung melintas tipis di langit Kota Mojokerto. Semilir angin mengalir seadanya di Lingkungan Balongrawe Baru, Kelurahan Kedundung, Kecamatan Magersari.
Beberapa pohon dan tanaman bunga di halaman depan membuat rumah menjadi teduh. Pintu dan jendela rumah terbuka lebar. Seisi dalam rumah terlihat di teras. Itu rumah Maklan dan istrinya yang langsung menyambut Jawa Pos Radar Mojokerto yang datang.
Pria berusia 66 tahun ini baru saja dari ladang pisang yang dikelolanya akhir-akhir ini. Kegiatan itu kini menjadi kesibukan dalang yang juga pembuat wayang kulit ini. ’’Ya karena dua tahun belakangan ini sepi tanggapan,’’ akunya.
Ya, beberapa tahun terakhir ini, Malkan mengaku sepi tanggapan dalang wayang kulit. Kondisi itu, kata dia, juga dialami dalang-dalang lainnya. Begitu juga pesanan kerajinan tradisional wayang kulit bikinannya. ’’Iya. Pesanan wayang juga sepi,’’ timpalnya.
Pria dengan nama dalang, Ki Malkan Cahyo Pitoyo ini, memang tak mengetahui detail penyebab lesunya dunia pentas wayang. Hanya saja, kali terakhir tanggapan yang diterimanya sekitar dua tahun lalu. Lokasinya di daerah Tejo, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.
Kecapakan mendalang dan membuat kerajinan wayang ini, kata Malkan, memang bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Dirinya bercerita, kecintaan akan wayang ini sudah tumbuh sejak kecil. ’’Sejak kelas 2 SD itu sudah ke mana-mana lihat wayang,’’ tukasnya.
Hal itu pun beranjak terus hingga sekitar tahun 1990-an. Saat itu, dia bekerja di pabrik es kawasan Banjaragung, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto. Kebetulan, dia juga kerap didapuk sebagai pendakwah.
Ada salah seorang santrinya yang mengajak menonton pentas wayang Ki Winoto di Patuk, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Pentas itu, agaknya membawa kesan tersendiri baginya. Karena, setelah lama dihayati, nyatanya kesenian tradisional pentas wayang itu tak sekadar tontonan biasa.
Selain itu, dalang yang melakonkan wayang kerap memberikan petuah lewat cerita yang dibawakan. ’’Itu seperti orang dakwah kalau dicermati secara tidak langsung,’’ selorohnya.
Berangkat dari situ, niatan menjadi dalang timbul dari hati Malkan. Dia mengaku banyak belajar dari dalang Pitoyo. Bahkan kerap nyantrik. ’’Makanya nama dalang saya itu, Malkan Cahyo Pitoyo. Karena muridnya dalang Pitoyo,’’ tukas pria asal Jalan Empunala 451 ini.
Sekitar tahun 1998, dia mengaku mulai mendalang. Beragam pentas kerap disajikan. Di tahun 2002 lalu, dirinya pernah menjadi penyaji terbaik pada Festival Pedalangan Jawa Timur besutan Dinas P dan K Jatim yang ketika itu masih dipimpin Rasiyo.
Pentas demi pentas wayang kerap dilakoni Malkan. Selain menjadi dalang, diam-diam Malkan juga terampil membikin wayang kulit. Hanya saja, kerajinan wayang kulit akhir-akhir ini juga sepi. ’’Satu wayang ya ndak tentu. Bisa cepat. Tergantung ukurannya,’’ ceritanya.
Beberapa wayang karya Malkan masih disimpan di rumahnya. Di antaranya, ada wayang buto dan anoman. Wayang buto terbuat dari kulit berukuran besar. Sedang, wayang anoman lebih kecil dan ramping. Selain itu, ada beberapa wayang kardus hasil sharing dari pembuat wayang kardus di Balongrawe, Agus Santoso.
Harga wayang kulit bikinan Malkan bervariasi mulai Rp 400 ribu hingga Rp 1,3 juta. Bahannya tentu kulit hewan mamalia seperti kambing, sapi, atau kerbau. Yang paling baik, kulit kerbau. ’’Kalau satu set, wayang itu bisa 216 wayang. Tapi biasa orang pesannya itu empat atau lima wayang dalam satu paket,’’ sambung Malkan.
Sepinya tanggapan dalang dan pembuatan wayang agaknya tak membuat Malkan beringsut. Namun, dia tetap mengamati pentas dalang. Yang mana, kini banyak pentas wayangan yang kerap diselingi campursari.
Bahkan, pentas campursari sering kali lebih mendominasi ketimbang wayangan itu sendiri. ’’Ya prihatin. Karena, ceritanya kan praktis terpotong. Tapi kembali lagi itu, tergantung si penanggap juga,’’ terang dia.
Jika dalam satu pentas wayang biasanya terdapat empat episode cerita, bisa dipangkas menjadi dua episode. Padahal, sari pati dari pentas wayang itu banyak terkandung dalam cerita tokoh-tokoh dan alur cerita wayang itu sendiri.
Di dalamnya, kata Maklan, terdapat banyak nilai filosofi kehidupan. Namun, nilai-nilai itu disampaikan dengan tata cara khas wayang yang memiliki derajat kesopanan, dan kebaikan akhlak tokohnya. Bahkan, sebelum cerita wayang dimulai, jika diperhatikan sudah dihamparkan nilai filosofi dari gunungan.
’’Nilai filosofi itu banyak disampaikan dalam bentuk pasemon,’’ tandas dia. Bentuk pasemon atau pesan tersirat yang ingin disampaikan dalang dalam cerita wayangnya. Oleh Malkan, hal itu kerap disisipi nilai-nilai dakwah ke-Islaman.
’’Biasanya, saya mengutip satu-dua dalil. Dengan begitu, orang yang menyaksikan bisa lebih mengenal dan belajar dari perilaku tokoh pewayangan,’’ pungkas penyuka tokoh Begawan Manumoyoso ini.