Ada banyak ide dan kreasi dalam menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ini. Salah satunya dengan menghias gapura gang tempat tinggal dengan bermacam variasi dan bentuk. Termasuk menggunakan bahan bekas tak terpakai atau ramah lingkungan.
IDE itu muncul ketika pemuda 24 tahun ini tengah bermain di sungai dekat tempat tinggalnya. Saat itu, ia merasa risih dengan tumpukan kulit kelapa bekas penjual es degan yang berserakan di pinggir sungai. Bahkan beberapa kulit kelapa itu masih terlihat basah atau baru saja dibuang.
Sehingga, dikerubungi lalat. Sementara kulit yang sudah kering, sudah berwarna kecokelatan kurang sedap dipandang. Melihat kondisi itu, ia lantas berpikir bagaimana caranya memanfaatkan barang bekas itu menjadi sesuatu yang lebih bernilai.
Background sebagai tenaga lepas kebersihan Pemkab Mojokerto pun ia paksa berpikir keras. Termasuk mengemasi dan mengumpulkan batok-batok kelapa itu untuk dibawa pulang sebelum dikreasikan. Hingga akhirnya Akhmat Atem menemukan ide untuk menjadikan ratusan batok kelapa itu sebagai bahan baku hiasan gapura.
Untuk perayaan Tujuh Belas Agustusan di rumahnya Desa Sambiroto, Kecamatan, Kabupaten Mojokerto. ’’Tak pikir-pikir dari pada berserakan mending tak ambili buat Gapura Batok,’’ ungkap pria yang akrab disapa Aden itu. Tak terlalu lama, Aden lantas menyusun ratusan batok kelapa itu dalam sebuah bingkai. Awalnya, ia lebih dulu membuat kerangka berbentuk kotak yang diberi benang sebagai dasar menempelkan batok.
Kemudian batok dilem sebelum didiamkan selama seminggu. Setelah itu, baru ia cat menggunakan cat sprai warna merah dan putih sebagai simbol warna bendera Indonesia. Tidak hanya batok, ia juga memvariasikan gapura ramah lingkungannya itu dengan bahan bekas lain, yakni botol bekas.
Yang ia susun berdempetan dan di lem kembali agar tidak lepas. Hingga terwujudlah gapura berukuran tinggi 2,7 meter dan lebar 3,4 meter. ’’Pembuatannya kurang lebih lima hari, mulai tanggal 21 sampai 27 Juli. Kalau jumlah batoknya, kurang lebih sekitar 400 sampai 500 biji,’’ tandasnya.
Meski tak sebaik gapura hias model lainnya, Aden menilai karyanya itu cukup membawa kesan, terutama bagi warga kampung sekitarnya. Di mana. Kini banyak pengendara roda dua dan empat yang mengetahui kampung tempat tinggalnya. ’’Minimal mereka masih sempat noleh sedikit. Mungkin dipikir bentuk gapuranya unik,’’ ujarnya.
Untuk biaya sendiri, tak banyak menguras kantong, bahkan, cukup minimalis. Yakni, total hanya Rp 500 ribu. Uang itu hanya dihabiskan untuk bahan-bahan pendukung, seperti lem, cat semprot, kawat, bendera plastik, lampu hias, rangka bamboo dan banner kartun.
Proses pembuatan sendiri dibantu lima orang, mulai dari menyusun, mengecat, hingga mendirikannya menjadi gapura batok di ujung gang. ’’Kurang lebih habis Rp 500 ribu dari uang tabunganku sendiri. Minimal tujuh belasan tahun ini biar ada gregetnya,’’ pungkasnya. (farisma romawan)