Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok dr Soekandar. Nama salah satu tokoh gerakan pemuda Mojokerto kini terpampang sebagai nama rumah sakit umum daerah (RSUD) di Mojosari.
Pria yang bergelar profesor ini juga dipercaya menjadi bupati pertama setelah kemerdekaan RI. Bagaimana kisah perjalanannya?
SEJARAWAN Mojokerto Ayuhanafiq menjelaskan, memang tidak banyak sumber yang menceritakan tentang sosok Prof. dr. Soekandar. Namun, nama Bupati Mojokerto periode 1945-1947 ini pernah tertulis dalam buku buatan penjajah Jepang.
Dalam buku berjudul Orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa itu, Soekandar tercatat ahir pada 20 Juni 1900 di Gudo, Kabupaten Jombang. Dia mengatakan, masa muda Soekandar cukup mengenyam pendidikan.
Di tingkat sekolah dasar, Soekandar sekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian berlanjut Algemeene Middelbare School (AMS) atau sekolah menengah umum zaman Hindia Belanda. ’’Pendidikan ELS dan AMS ditempuh Soekandar di Malang,’’ terangnya.
Setelah lulus, Soekandar kembali melanjutkan pendidikan di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah Dokter Jawa di Surabaya. Lembaga pendidikan di Kota Pahlawan itu kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Airlangga (Unair).
Yuhan, sapaan Ayuhanafiq, mengatakan, pada tahun 1928, Soekandar lulus pendidikan dari NIAS dan resmi menyandang gelar Inlandsch Art atau dokter Jawa atau pribumi. Bahkan, pria berkacamata itu langsung diangkat sebagai dokter kabupaten di Mojokerto. ’’Jabatan semacam kepala dinas kesehatan kabupaten,’’ paparnya.
Menurutnya, jabatan tersebut diduduki sampai penjajah Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Pada zaman Jepang itu, dr Soekandar ditunjuk sebagai dokter Gubernuran yang diperbantukan di Kabupaten Mojokerto.
Saat menempuh pendidikan kedokteran, Soekandar mulai mendalami pemikiran kebangsaan. Oleh karena itu, jiwa nasionalismenya mengantarkannya masuk ke organisasi Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan oleh Dr. Soetomo. ’’Soekandar menjadi Ketua Parindra Mojokerto ketika dia mulai bekerja di Mojokerto,’’ katanya.
Seiring pergaulannya dengan para aktivis di Surabaya, dr. Soekandar juga dipercaya sebagai Ketua Pemuda Rakyat Indonesia (PRI). Menurut Yuhan, di awal masa kemerdekaan, PRI menjadi organisasi yang dominan di Surabaya. Bahkan memiliki cabang di berbagai daerah, termasuk di Mojokerto.
Saat masih menduduki posisi sebagai ambtenaar atau pegawai negeri berjabatan kepala dinas kesehatan, dr Soekandar memiliki kesempatan bertemu banyak pihak. Hal itu membuat karirnya terus menanjak. ’’Saat itu, dia (dr Soekandar, Red) juga ditunjuk sebagai Ketua Palang Merah Mojokerto,’’ imbuhnya.
Karir menantu Bupati Mojokerto Ke-9 RAA Rekso Amiprodjo ini kian berkibar. Sebab, dr. Soekandar juga sempat terpilih sebagai anggota Dewan Kota Mojokerto. Dokter muda itu dipercaya pada mewakili unsur pribumi sebagai legislator setelah R.P. Soeroso.
Puncaknya terjadi pada tahun 1945, tepatnya pasca Proklamasi Kemerdekaan RI. Secara aklamasi dr. Soekandar ditunjuk menjadi Bupati Mojokerto. Menurut Yuhan, terpilihnya dr Soekandar karena saat itu terjadi kekosongan posisi bupati.
Sebab, bupati sebelumnya, Rekso Amiprodjo sempat diculik oleh sekelompok pemuda. Rekso dibawa ke Pesantren Tebuireng Jombang dan kemudian ke Malang. Namun, upaya pencarian yang dilakukan Jepang tidak berhasil.
’’Menghilangnya Rekso membuat jabatan bupati kosong. Sehingga, dokter Soekandar terpilih untuk menggantikannya,’’ tandasnya. Atas terpilihnya jabatan tersebut, dr. Soekandar menjadi Bupati Mojokerto ke-10 sekaligus yang pertama setelah masa kemerdekaan RI.