Konsisten mengasihi buah hati demi lepas dari jeratan narkoba adalah pilihan yang harus ditanggung Sri Isnaeni Handayani. Usaha hancur pun harus ditanggung hanya demi kesembuhan sang anak. Namun, berkat kesabarannya, Sri Isnaeni dinobatkan sebagai konselor oleh BNN di Pusat Rehabilitas Lido.
HAMPIR separo perjalanan hidup Sri Isnaeni Handayani atau akrab disapa Ninik, warga Lingkungan Suronatan, Kelurahan/Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto, ini dilalui dengan grafik naik turun.
Selepas bercerai dengan sang suami tahun 1990, Ninik mencoba bangkit dengan segala upayanya. Memiliki bakat memasak, Ninik lalu membuka kantin di Pantai Ancol, Jakarta Utara.
Usahanya itu ternyata laku keras. Hingga di tahun 2000, dia memberanikan diri membuka katering aneka jenis makanan yang distok ke sejumlah kantin dan rumah makan di sepanjang Ancol. Usahanya pun laku keras hingga berlanjut ke usaha berikutnya, yakni pengiriman paket makanan laut kemasan ke luar negeri. Dengan tujuan utama negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Namun, upaya Nenek lima cucu ini justru dinali sebagai hal yang blunder. Hidup dengan ekonomi yang berkecukupan membuatnya lalai akan tugas utama sebagai ibu sekaligus bapak bagi ketiga buah hatinya. Dan, tahun 2008, menjadi titik awal kehancuran ekonomi Ninik dan keluarga. Betapa tidak, dua buah hatinya, Doni Devani Sondakh dan Edo Sondakh, terjerumus ke lembah hitam narkoba.
Bahkan, keduanya bisa dikatakan berstatus sebagai drugs addict atau pecandu berat narkoba. Saking parahnya, hampir setiap hari Doni dan Edo tak bisa lepas dari yang namanya zat terlarang. ’’Narkoba memang benar-benar sangat merugikan. Jangankan seteguk, setetes saja jangan sampai masuk ke dalam tubuh kita. Kita sebagai orang tua, nggak boleh menyerah dengan keadaan meskipun kenyataannya memang pahit,’’ terangnya.
Ya, kehancuran seketika itu tak lantas membuat Ninik menyerah dengan keadaan. Meski berstatus sebagai single parent, Ninik dengan setia mendampingi dua buah hatinya dalam upaya penyembuhan. Nah, salah satu upaya itu adalah memasukkan Edo Sondakh ke pusat rehabilitasi milik BNN di Lido, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pilihan itu dinilai sebagai upaya penyelamatan paling efektif dari sejumlah cara yang ditempuh.
Sebab, dirinya tidak ingin mengulangi dosa kedua kalinya atas pengalaman yang sama saat menangani Doni, anak keduanya. Keterlambatan penanganan membuat Doni hanya diberikan perawatan di rumah sakit atau rawat jalan dan pengobatan alternatif karena tidak satupun pusat rehabilitasi yang mampu menyembuhkan sifat ketergantungan Doni dari zat adiktif. Hingga akhirnya nyawa Doni tak bisa diselamatkan akibat over dosis (OD) tahun 2010.
’’Kalau Doni memang saat itu sudah sangat parah. Sedangkan, Edo masih bisa diselamatkan. Waktu itu tahun 2008, Edo langsung saya bawa ke Lido setelah bebas dari Rutan Medaeng, Surabaya akibat tertangkap polisi saat sedang pesta putau di Surabaya,’’ tambah wanita yang kini telah berusia 66 tahun ini.
Dan, saat di Lido inilah kesabaran Ninik diuji. Ekonominya benar-benar hancur karena harus mengeluarkan biaya tinggi demi kesembuhan Edo. Rumah, tabungan, mobil hingga semua perabotan rumah dijual hanya demi membiayai proses kesembuhan anak kesayangannya itu.
Sesekali dia dibantu anak pertamanya yang bekerja sebagai pegawai kapal. Tidak hanya itu, untuk membiayai kelangsungan hidupnya, Ninik pun tak sungkan untuk berjualan kue atau makanan ringan di kantin Lido. Lagi-lagi, bakatnya memasak dimanfaatkan untuk bisa bertahan hidup meski hanya cukup untuk makan sehari-hari.
’’Semuanya harta saya habis lah. Yang ada cuman sandal jepit. Tapi, karena di Lido ada perkumpulan para orang tua para pecandu, saya terus dibantu pakai uang kas untuk modal jualan kue. Nggak banyak juga, cuman cukuplah buat makan nasi sama lauk tempe doang,’’ tutur Ninik. Kesabarannya akhirnya berhasil. Tahun 2010, Edo dinyatakan dokter Lido clean dari zat adiktif. Bahkan, keberhasilan itu membuat Edo dan Ninik dinobatkan sebagai pasien Lido terbaik.
Atas keberhasilan itu, Edo pun diberikan kesempatan untuk bekerja di Lido sebagai konselor atau konsultan bagi para pecandu yang ingin sembuh di Lido. Sedangkan Ninik, diberi kepercayaan sebagai konselor di Family Support Group bentukan BNN. Meski gaji tak seberapa, baik Ninik maupun Edo rupanya menjalani tugas mulia itu dengan senang hati.
Bahkan, ketika artis papan atas Raffi Ahmad terjerumus kasus yang sama tahun 2013, Edo lah yang menjadi konselor sekaligus pendamping utamanya. ’’Saat itu, Raffi Ahmad nggak mau berobat kalau bukan Edo yang mendampingi. Memang Edo anaknya lebih care ke sesama pasien. Chico Jericho juga maunya didampingi sama Edo,’’ tambah Ninik lagi.
Berbeda dengan Edo, Ninik justru mengaku memiliki pengalaman lebih seru. Bertugas sebagai testimoni orang tua pendamping pecandu, dia justru banyak mendapat laporan tentang adanya transaksi narkoba, termasuk dari teman Edo sesama pecandu.
Saking seringnya, Ninik akhirnya jengkel dan berniat membongkar sindikat jaringan peredaran ekstasi kelas kakap. Mendapatkan informasi akan adanya transaksi ekstasi 12 kilogram, Ninik lantas melaporkan informasi itu ke petugas BNN. Sindikat itupun akhirnya terbongkar dan semua pelaku dijebloskan ke penjara.
’’Sebenarnya pelakunya sudah saya peringatkan beberapa kali dengan lembut. Ada juga pecandu yang minta dinasehati dan mengganggap saya seperti orang tuanya. Karena kita nggak mau dia di penjara, saya masukkan saja ke Lido,’’ jelasnya.
Hanya saja, status sebagai konselor itu tidak serta merta menghilangkan satu penyakit mematikan yang masih diidap Edo. Ya, virus HIV-AIDS sudah tidak bisa lagi ditolerir di dalam tubuh anak terakhirnya itu. Ditambah lagi hubungan buruk dengan sang istri yang meminta bercerai membuat semangat Edo bertahan hidup turun.
Hingga pada tahun 2016 silam, Edo menghembuskan napas terakhirnya. Peristiwa itu pun diakui Ninik sebagai momentum paling buruk dari semua perjalanan hidupnya. ’’Terus terang Edo adalah anak kesayangan saya. Cuman memang takdir sudah tidak bisa dielakkan,’’ tegasnya.
Kini, dua tahun sudah Ninik meninggalkan Pusat Rehabilitasi Lido yang dia anggap seperti rumah keduanya. Meski sebenarnya para petugas dan karyawan BNN menginginkannya tetap tinggal di Lido menjalani profesi sebagai konselor. Namun, pilihannya untuk kembali ke rumah masa kecilnya di gang sempit Suronatan 7 tak dapat dibendung.
Meski hidup dalam ekonomi pas-pasan, Ninik mengaku cukup bahagia di sisa umurnya. Bahkan, Ninik berharap bisa membantu orang tua para pecandu di Kota Mojokerto dalam memberikan semangat dan motivasi agar tidak lelah menjalani pendampingan.
Sebab, anak baginya adalah harta yang tak bisa ditukar dengan uang segunung sekalipun. Meski narkoba sudah menggerogoti tubuh sang anak, setidaknya semangat orang bisa jadi harapan sang anak untuk bisa sembuh seperti sedia kala. ’’Sembuh itu bisa diupayakan. Soal hasil, pasrahkan saja kepada Allah SWT,’’ pungkasnya.