28.8 C
Mojokerto
Monday, May 29, 2023

Rindu Anak Semata Wayang

SEBAGIAN besar orang bermimpi memiliki segala macam tanaman yang tinggal memetik di sekelilingnya. Hidup di desa beternak dan bercocok tanam.

Rasanya begitu damai bisa hidup berdampingan dengan alam. Sebagian besar masa kecil saya, saya habiskan di ladang dan perkebunan di Mojokerto. Di tempat itu, saya merasa nyaman berjam-jam tanpa merasa bosan.

Kakek dan Nenek memiliki lahan yang cukup luas dengan berbagai macam tanaman dan ternak di dalamnya. Kebun Jeruk yang sangat luas di belakang pemakaman Troloyo milik seorang sahabat karib sebagian ingatan yang paling indah.

Kenangan tentang indahnya masa kecil di Gemekan, Kabupaten Mojokerto, inilah yang membawa hayalan hingga ke negeri seberang. Suami yang seorang insinyur mesin sangat mendukung keahlian untuk mandiri, menetap di pedalaman hutan Julatten.

Sebuah desa kecil berpenduduk tidak lebih dari 1100 orang dengan luas yang amat lega 160 kilometer tepat tepi hutan Taman Nasional Mowbray. Jaraknya, kira-kira 1770 kilometer ke arah utara Brisbane, ibukota negara bagian Queensland, Australia.

Suatu ketika, kami merasa sudah cukup melakukan perjalanan mengarungi samudera dan benua hingga kami ingin sekali berhenti di suatu tempat dan memulai semuanya dari nol lagi.

Hal itulah yang kami rasakan saat memutuskan untuk pindah dan menjauh dari gemerlap lampu kota dan silaunya dunia yang penuh dengan barang-barang baru.

Tidak pernah puas rasanya memburu edisi terkini sebuah teknologi dalam genggaman. Kotak plastik berlayar digital kedip-kedip warna-warni, yang tak genap sebulan sudah muncul keluaran terbarunya.

Demikian tak pernah henti, cepatnya teknologi dengan kemauan mengejar hal-hal serta barang-barang konsumtif kemasan baru. Ribuan orang seperti kami bergabung dalam komunitas ’’Living off the Grid’’ di dunia maya.

Sebagian besar anggotanya hidup jauh dari keramaian. Kesunyian inilah yang ternyata membuat kami justru bisa fokus pada kegiatan di sekitar lingkungan. Saat itulah kami mantap hidup menjauhi perkotaan. Memulai kehidupan baru lebih mandiri, berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.

Baca Juga :  Putus Sekolah karena Kasihan Ortu Harus Menanggung Biaya

Memulai bercocok tanam organik buah, sayuran dan jamu-jamuan. Bisa menjadi barang langka komoditas mahal tak terkira terutama saat pandemi korona saat ini.

Peraturan ketat biosecurity pemerintah negeri Australia sangat menguntungkan para petani. Beberapa hasil bumi segar umbi-umbian dan sayuran tidak boleh dan tidak mungkin diimpor dalam keadaan segar karena jarak dan perlindungan keamanan biota lokal.

Kesempatan inilah yang kami manfaatkan ketika memulai menanam kunyit tiga hektar beberapa tahun lalu. Harga komoditas ini kualitas 1 dengan kondisi segar siap jual, harganya bisa 100 kali lipat dengan harga di Indonesia. Rasanya seperti tiduran di kasur emas, warna kuning kunyit berkilauan.

Tetapi, jangan dikira mudah memulainya. Harganya dari dulu tak pernah bagus. Pernah ditawar cuma 80ribu perkilo gram. Menyalakan mesin panennya saja kami enggan dengan harga serendah itu.

Tetapi tak peduli betapapun sulitnya, kami tetap berusaha. Berdua saja juga tak apa, karena semua jenis mesin bisa dibuat dan dimodifikasi sedemikian rupa.

Tak pernah kemana-mana, di rumah saja hingga berbulan-bulan inilah yang membuat kami sulit membedakan saat ada wabah Covid-19. Segala ilmu jaga jarak dan menjauhi keramaian sudah kami lakukan bertahun-tahun.

Mandiri saat semua pusing kehilangan pekerjaan, kami sudah work from home (WFH) tidak bekerja diluar lagi juga sejak lama. Pusing bayar tagihan? Tagihannya sudah kami hindari duluan dari awal.

Ada yang pernah bertanya, bagaimana mungkin hidup tanpa tagihan? Ya, ada. Cuma bayar asuransi kesehatan, jaringan internet dan pajak tahunan mobil serta semua properti yang kami miliki. Selebihnya kami memilih beli bekas atau mendaur ulang.

Baca Juga :  Penyidik Bareskrim Periksa Produsen Obat PT Afi Farma

Negeri Kanguru mahakaya ini penuh dengan rongsokan barang yang tak terpakai. Yang sebenarnya kalau mau berkreasi sendiri bisa membeli suku cadangnya dan dibetulkan sendiri.

Dari sisa-sisa dan pembuangan ini pula kami mengumpulkan minyak goreng dari restoran cepat saji. Membuat biodiesel sendiri untuk bahan bakar mobil dan 7 alat berat koleksi suami.

Jadi otomatis, pengeluaran kami untuk beli BBM tidak ada lagi. Listrikpun kami memakai panel tenaga surya karena kabel tiangnya pun tak akan pernah sampai bekupon kami saking jauhnya ke pelosok hutan belantara.

Bekupon? Ya rumah kami bekupon berjajar dan bersusun kotak-kotak berkaca. Berasal dari peti kemas di pelabuhan yang kami modifikasi menjadi tempat tinggal.

Makanan, listrik, air dan bahan bakar kami mendapatkannya sebagian besar gratis dari alam. Bahan utama kebutuhan pokok yang akan menjadi sangat langka menurut kajian para ahli di tengah korona.

Demi mewujudkan mimpi indah masa kecil ini saya rela berkorban. Hanya yang membuat pikiran tentu saja pada keluarga di Indonesia. Meskipun rasa optimistis selalu ada, segalanya takkan mungkin sama dengan di Australia.

Yang menjadi persoalan dan cukup menyita pikiran kami, bukan uang. Bukan bahan makanan. Hanya, kami tak bisa lagi mudik berlebaran entah dalam waktu berapa lama.

Segalanya takkan lagi sama. Takkan semudah dulu lagi melenggang ke airport dan tempat-tempat rekreasi relaksasi di Indonesia. Terutama rindu yang tertahan pada anak semata wayang yang tertahan di karantina mandiri.

Dia yang memilih kuliah di Surabaya telah memilih jalan tetap bertahan di Indonesia. Semoga, korona takkan memisahkan kita terlalu lama ya, Nak.

*) Disarikan dari wawancara wartawan Jawa Pos Radar Mojokerto

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/