DEWASA ini masyarakat tak bisa lepas dari gadget. Bahkan sudah jadi kebutuhan sehari-hari. Namun, seiring berkembangnya teknologi, pemanfaatannya juga harus lebih baik. Sehingga, teknologi yang seharusnya bisa berdampak positif bagi kemajuan, bukan malah menjadi pedang bermata dua yang bisa menjerumuskan para penggunananya.
Termasuk dalam sistem pembelajaran dalam jaringan (daring) yang diterapkan pemerintah di tengah pandemi Covid-19. Para pelajar dituntut menggunakan gawai untuk bisa mengikuti proses belajar mengajar. Seiring perkembangan zaman yang kian maju ini, menjadikan orang tua juga dituntut melek teknologi informasi (TI). Peran komunikasi dalam keluarga sebagai bentuk kontrol pun menjadi penting dan utama. Termasuk, bisa menjadi manajer teknologi bagi anak saat di rumah. Hal itu sejalan dengan tanggung jawabnya atas tumbuh kembang anak agar bisa memanfaatkan internet dan gadgetnya dengan optimal.
Apalagi, dengan penerapan pembelajaran daring yang dilakukan pemerintah dalam upaya memutus persebaran Covid-19 di lingkungan pendidikan. Secara bergilir pembelajaran tatap muka (PTM) dibatasi maksimal 50 persen. 50 persen lainnya memanfaatkan teknologi untuk mengikuti proses belajar mengajar dari rumah.
Di momentum ini, keluarga mulai dituntut melakukan pengawasan lebih dari sebelumnya. Secara intens harus ada komunikasi. Jika tak begitu, penyalahgunaan teknologi bakal tak bisa dihindari. Seperti halnya anak terlalu asyik bermain game online. Padahal, kecanduan terhadap game online bisa memengaruhi psikis anak jika berlangsung secara terus menerus. Dampak psikis yang terjadi pada anak akibat kecanduan game bisa menyebabkan menurunnya konsentrasi pada anak. Termasuk, keterampilan sosialnya juga bisa berkurang karena sering bermain game online. Anak bisa menjadi egosentris, individualistik, dan nantinya akan kesulitan bekerja sama dalam kelompok.
Tak sekadar itu, tanpa pengawasan orang tua, juga cukup berpotensi abai atas tanggung jawabnya mengerjakan tugas di tengah penerapan pembelajaran daring. Benar saja, selama pandemi Covid-19, sejumlah persoalan baru muncul. Setelah dicek dan ricek, hal itu imbas minimnya pengawasan orang tua.
Alhasil, peran orang tua sebagai manajer teknologi bagi anak pun menjadi cukup penting dan utama. Itu sejalan dengan apa yang disampaikan Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Mariam F. Barata pada acara sisternet digital parenting, ’’Anakku, Internet, dan Gadget’’. Mengingat di era digital ini anak-anak tidak dapat dihindarkan dari internet dan gadget. Selain memberikan banyak kemudahan dalam hidup, dampak negatifnya juga banyak.
Untuk itu perlu adanya manajerial yang baik bagi para orang tua untuk dapat berperan sebagai manajer teknologi di rumah untuk pembentukan karakter anak-anaknya. Seperti halnya, melarang anak memiliki ponsel sendiri sebelum berusia 14 tahun, membatasi penggunaan ponsel. Sehingga mereka punya waktu lebih banyak untuk dihabiskan bersama keluarga, tidak dibolehkan membawa ponsel pada saat makan menentukan jam berlaku menggunakan ponsel untuk belajar dan bermain, serta meningkatkan kualitas komunikasi keluarga.
Dari sejumlah literatur, peran komunikasi dalam keluarga juga bisa memberikan banyak manfaat. Di antaranya, menumbuhkan kejujuran. Komunikasi yang intim dapat menuntun keluarga menjadi bersikap lebih terbuka. Keterbukaan antara anak dan orang tua ini dapat menciptakan keluarga yang harmonis. Termasuk untuk mencegah terjadinya konflik serta pembentukan sikap, dan menjadi motivasi tersendiri bagi anak dalam proses belajar.
Dengan kata lain, selain guru, keluarga ternyata sangat menentukan keberhasilan anak dalam proses belajar daring saat pandemi Covid-19. Artinya, meski kedua orang tua memiliki kesibukan masing-masing, tetap harus berpartisipasi untuk memantau proses belajar mengajar anak selama di rumah. Hal itu untuk dapat meningkatkan prestasi anak.
Misalkan, sekadar menanyakan tugas yang diberikan oleh guru. Meski sering dianggap sepele, sikap itu menunjukkan kepedulian orang tua terhadap tanggung jawab anak. Harapannya memunculkan komunikasi dua arah di dalam lingkungan keluarga. Ada rasa saling peduli dan percaya satu sama lain. Akhirnya anak merasa terbantu dan diperhatikan. Memang ini tidak mudah, namun perlu komitmen. Perubahan itu memang perlu dipaksa agar terpaksa, dan menjadi kebiasaan. (*)
*) Guru BK SMPN 1 Pungging yang juga Mahasiswa Pascasarjana BK 2020 UNESA