PAGI menjelang siang Sabtu (3/8), Sutik masih beraktivitas di sebuah ruangan separo terbuka. Tangannya cekatan dalam memilah dan memilih sampah. Ia kumpulkan satu per satu sesuai jenisnya. Di antaranya, sampah plastik, kertas, karet, dan kaca.
Nah, saat Mata Lensa memasuki gudang tempatnya mengais rezeki, konsentrasinya sedikit bergeser. Ia lebih dulu menyapa hangat dan mempersilakan untuk mengikuti proses pemilihan sampah dari awal hingga akhir. Gudang pengumpulan sampah ini berada di Desa Belahan Tengah, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto.
Berawal dari keprihatinan atas meningkatnya populasi sampah diseluruh wilayah di Indonesia, sekumpulan anak muda pun berinisiatif mendirikan Bank Sampah. Sampah-sampah yang terkumpul dari tigaratus bank sampah unit tersebar diseluruh kecamatan di Kabupaten Mojokerto dikirim ke Bank Sampah Induk (BSI). Setoran sampah tersebut kemudian ditimbang dan ”disulap” menjadi uang.
Sampah jenis plastik dan sterofoam adalah sampah kimia di era modern. Perlu waktu puluhan tahun untuk bisa terurai oleh tanah. ”Jika sampah jenis tersebut dibuang di sungai dapat merusak lingkungan,” ungkap Khusriyati, pengelola BSI. ”Karenanya, kami memanfaatkan dan mengelola sampah-sampah ini menjadi produk kerajinan,” imbuhnya.
Sampah-sampah yang diubah menjadi bernilai ekonomis tersebut adalah yang berbahan plastik. Mereka mampu memanfaatkan menjadi kerajinan. Seperti dompet, tas, bahkan busana. ”Sisanya kita setor ke pabrik pengolahan sampah plastik untuk dijadikan bahan dasar kemasan kembali,” terangnya.
BSI juga mengedukasi masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Sebab, wilayah Kabupaten Mojokerto sendiri mempunyai 18 kecamatan. Namun, sampai saat ini baru memiliki satu TPA. ”Saya rasa itu lebih dari kurang. Maka, dari itu kami selalu mengkampanyekan tentang bahaya sampah plastik jika dibuang di lingkungan. Kami ajari mereka untuk mengumpulkan sampah. Apalagi, selain menjaga lingkungan, kegiatan ini juga bernilai ekonomis,” tandas Khusriati.