SEMENTARA itu, awal tahun 1926, koran Kemadjoean Hindia mulai meredup. Perusahaan pers yang dilahirkan di Mojokerto itu mulai didera permasalahan finansial. Hingga akhirnya bermetamorfosa menjadi koran Soeloeh Indonesia.
Ayuhanafiq menceritakan, permasalahan keuangan bermula dari dijualnya perusahaan percetakan Indische Snelpersdrukkerij. Penjualan aset itu dilakukan setelah sang pemilik, Ong Lin Giok diputus pailit oleh pengadilan negeri Surabaya. ”Dari keputusan itu, maka dia (Ong Lin Giok) harus menjual harta perusahaan miliknya,” sambungnya.
Nasib Kemadjoean Hindia makin terpuruk setelah anggota dewan redaksi tersandung persoalan hukum. Sementara, Pemred Soeroso juga tidak bisa lepas dari pekerjaannya sebagai anggota volksraad.
R.M Bintarti kemudian berupaya mencari solusi untuk bisa keluar dari permasalahan di internal koran Kemadjoean Hindia. Yakni, mencari investor baru untuk menghidupkan kembali dapur redaksi.
Disebutkan Yuhan, R.M Bintarti mengajak sejumlah pengusaha untuk membuat kongsi dagang pribumi. Meski telah mendapat kucuran modal dari masing-masing pendiri, namun dana tersebut belum mampu melepaskan Kemadjoean Hindia dari jeratan masalah finansial. Hingga akhirnya, pertengahan 1926, Kemadjoean Hindia diakuisisi oleh Indonesische Studiecub Surabaya. Media massa jebolan dari Mojokerto itu kemudian resmi berpamitan dengan pembaca pada penerbitan terakhid edisi 17 Agustus 1926.
Namun, sebut Yuhan, keberadaan surat kabar tersebut masih tetap eksis. ”Karena setelah pengambilalihan perusahaan penerbitan, koran yang awalnya bernama Kemadjoean Hinda berganti menjadi Soeloeh Indonesia,” pungkasnya.
Tak berhenti di situ. Pasca proklamasi kemerdekaan juga berdiri media cetak Majalah Bakti. Perusahaan pers itu berkantor di Jalan Kediri atau yang kini berganti nama menjadi Jalan Mojopahit. Media cetak mingguan yang mengorbit di awal 1946 itu kemudian juga berubah menjadi koran harian. (ram/ron)