Berangkat dari keterbatasannya mencari sumber literasi tentang tarian khas Mojokerto. Hingga dijadikan sumber inspirasi untuk mematerikan lewat buku. Sebagai materi pendamping, khususnya bagi pelajar tingkat SMP di Kabupaten Mojokerto. Puspitaning Wulan mencoba meneliti sekaligus menggali di balik filosofi tarian khas Majapahit itu lewat karya literasi.
TAHUN 2016 silam menjadi tahun yang sibuk bagi dara 24 tahun ini. Kala itu, sebagai mahasiswi semester akhir, ia dituntut mampu menuntaskan tugas akhir atau skripsi pendidikan S-1-nya. Di jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Sebagai gadis asli kelahiran Mojokerto, tak elok baginya jika tidak mengangkat seni tradisi khas Mojokerto. Khususnya seni tari yang mulai banyak dikenalkan sejumlah daerah lewat event-event wisata dan budaya. Nah, di Mojokerto, khususnya wilayah kabupaten, sudah tak asing lagi dengan tari mayang rontek. Yang dikenal sebagai ikon tarian asli masyarakat Bumi Majapahit.
Akan tetapi, simbol tersebut nyatanya tak dibarengi dengan berjubelnya literasi yang mengangkat secara detail tarian era Kerajaan Majapahit itu. Termasuk literasi buku yang dapat dijadikan sumber penelitian dan kajian budaya. Baik bagi pelajar, mahasiswa, hingga budayawan.
Kondisi ini dinilai sangat miris. Pasalnya, mayang rontek kerap ditampilan dan dipentaskan di berbagai ajang atau festival seni di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada yang tahu atau mengerti akan makna dan gerakan tarian tersebut secara mendalam. Berangkat dari keterbatasan itulah, Puspitaning Wulan, mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Seni Budaya Unesa itu menulis buku pendamping tari mayang rontek untuk siswa SMP kelas VII.
’’Kalau secara gerak atau bentuk penyajian tari, masyarakat mungkin sudah banyak yang tahu. Tapi, kalau soal di balik tarian itu, seperti makna busana, filosofi gerakan, hingga tata riasnya, mungkin belum banyak yang paham. Khususnya anak-anak sekolah,’’ tuturnya.
Sempat menemui banyak rintangan bagi wanita kelahiran 17 Maret 1995 itu saat menggali data dan informasi otentik tentang mayang rontek. Di mana, ia harus mengkroscek langsung ke sejumlah situs di kawasan Trowulan. Tidak sekadar kroscek. Ia juga dituntut mampu membaca tulisan huruf Jawa kuno yang tertera di arca. Serta cerita di balik gambar atau relief yang terpampang di dinding candi.
Hal ini yang menjadi tantangan Pita, sapaan akrabnya saat menggali informasi tentang mayang rontek. ’’Ada dua cagar budaya yang jadi sumber valid, relief candi gapura Bajang Ratu dan arca Sanggul Keling. Saya harus memvalidasi dengan mengkroscek ke lapangan langsung. Mencocokkan dengan penjelasan narasumber,’’ tambahnya.
Nah, dari hasil penelitian, mayang rontek menurutnya adalah gambaran masyarakat Majapahit kala baru mengenal atau memeluk agama Islam. Dibuktikan dari instrumen musik yang menggunakan rebana. Serta tata busana wanita yang menggunakan penutup kepala berupa jaring. Sementara dari segi koreo, mayang rontek sendiri menceritakan tentang makna hidup yang harus menerima dan memilih dua sisi berlawanan.
’’Tentang kehidupan di dunia yang pasti ada dua pilihan. Mulai dari baik-buruk, siang-malam, dan lain sebaiknya. Disimbolkan juga gerakan songgo nompo yang mengartikan menyangga dan menerima setiap permasalahan yang telah diberikan Yang Maha Esa (YME). ”Yang membedakan dengan tari lainnya adalah hiasan di kepala. Berupa lidi dililit dengan kertas warna-warni atau rontek,’’ tandas gadis asli Kelurahan Pulorejo, Kecamatan Prajurit Kulon ini.
Penerbitan buku pendamping itu sendiri, diakui Pita memang belum disebarluaskan secara masif. Pasalnya, masih ada beberapa materi yang belum tersampaikan secara detail di buku cetakan pertamanya. Sehingga perlu adanya validasi dan revisi di beberapa materi. Revisi itu tak lepas dari penelitian yang ia sampaikan untuk tesis studi S-2-nya dengan jurusan yang sama.
Namun demikian, dirinya optimistis buku tersebut bisa segera diterbitkan kembali dan disebarluaskan ke sejumlah siswa dan sekolah. Utamanya jenjang SMP sederajat. Dirinya berharap, dengan bukunya itu, mayang rontek bisa dikenal masyarakat luas. Tidak hanya masyarakat Mojokerto, tapi juga warga dari daerah dan negara lain.
Seperti tari gandrung dari Banyuwangi yang sudah dikenal turis asing lewat festival hingga dijadikan event wisata tahunan. Pun demikian Reog Ponorogo yang sudah malang melintang dikenal masyarakat hingga dipatenkan sebagai seni dan budaya asli Indonesia.
’’Untuk masyarakat umum juga. Jujur saya terinspirasi dari berbagai bentuk karya seni, khususnya seni pertunjukkan. Inginnya seperti di Banyuwangi yang hits dengan tari gandrung dan di Ponorogo yang terkenal Reog-nya,’’ pungkasnya. (farisma romawan)