KABUPATEN, Jawa Pos Radar Mojokerto – Warga mendorong pemerintah tegas atas bau tak sedap yang bersumber dari PT. Energi Agro Nusantara (Enero). Selain kenyamanan terganggu, kesehatan warga pun dipertaruhkan.
’’Kami sampai sekarang rasanya seperti diracun melalui udara. Apalagi malam hari, baunya lebih parah,’’ ungkap warga sekitar. Mereka pun meminta pemerintah tegas tak sekadar gimik atas dugaan pencemaran lingkungan ini.
Warga mengaku, dengan keberadaan pabrik ini masyarakat banyak dirugikan. Tak hanya sekadar bau yang dihisap setiap harinya, kebakaran disertai ledakan hebat terjadi di PT Energi Agro Nusantara Jalan Raya Gedeg, Desa Gempolkrep, Kecamatan Gedeg pada 2020 lalu juga masih menyisakan persoalan.
Warga mengaku juga masih trauma atas peritiwa tersebut. Apalagi getaran waktu itu sampai permukiman warga. ’’Tanggung jawab pasca ledakan belum selesai yang diselesaikan cuma pembenahan fisik perbaikan rumah yang rusak, padahal dulu tuntutannya terkait psikis juga,’’ kata DD warga lain.
Hingga kini, tanggung jawab itu tenggelam seiring berjalannya waktu. Namun saat perusahaan kembali produksi dan menimbulkan bau menyengat, membuat warga kembali dirugikan. Apalagi, sebut dia, tanggung jawab perusahaan dalam bentu kompensasi juga tak pernah ada sejak perusahaan berdiri. ’’Kompensasi selama uji coba yang menimbulkan bising, percikan atau kepyuran air terhadap lingkungan yang terdekat dengan pabrik, dan bau yang sangat menyengat dan mengganggu, juga tidak pernah ada,’’ paparnya.
Atas sejumlah persoalan itu, warga berharap produksi dihentikan. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) juga harus kembali kroscek ulang. Warga mendesak, dilakukan uji semua lini. Mulai uji kebersihan air, tanah, udara. Sebab sumber air di lingkungan Gempolkrep sudah tak layak. ’’Sehari saja, sudah kuning airnya. Makanya, kalau misal benar-benar sudah bisa mengatasi dampak negatif lingkungan, baru diizinkan beroperasi lagi, karena kembali lagi ini persoalan kesehatan,’’ paparnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto, dr Ulum Rokhmat Rokhmawan, mengaku tak bisa berkomentar banyak atas dampak kesehatan yang ditimbulkan bau bersumber dari biogas di pabrik tersebut. ’’Belum bisa menetukan, apakah berdampak pada kesehatan atau tidak. Harus telaah dulu, prosesnya bagaiamana? Yang lepas itu apa? Yang menimbulkan bau itu apa. Terus kandungan di udara itu juga bagaimana?,’’ ungkapnya.
Hanya saja, dinkes selalu memantau atas kesehatan warganya. ’’Kalau ada keluhan kesehatan, kita skrining, kita periksa. Puskesmas stanby, rumah sakit juga, kita tetap siaga kesehatan,’’ tuturnya.
Hanya saja, persoalan bau tak sedap itu sebenarnya terjadi sejak lama. Dari 2015, ada berbagai macam bau dari pabrik tersebut. ’’Pada saat pembuangan limbah cair pabrik gula, hasil akhirnya ledok, sekarang dalam bentuk etanol yang menguap. Tapi kalau apa efeknya kepada tubuh, harus diteliti lebih lanjut,’’ ujarnya.
Sementara itu, Humas PT Enero M. Johar Fathoni, menegaskan, biogas tidak akan berpotensi bahaya apabila terhirup. Hal ini dikarenakan konsentrasi kandungan biogas telah berkurang banyak atau rendah. ’’Ditambah saat ini telah dilakukan flaring (biogasnya dibakar) sehingga tidak ada potensi bau,’’ katanya.
Sebelumnya, Pemkab Mojokerto me-warning PT. Energi Agro Nusantara (Enero) agar segera berbenah. Jika hingga 10 November masih menimbulkan bau tak sedap, perusahaan pelat merah ini harus menghentikan produksi. ’’Sudah bikin surat pernyataan dengan batas penyelesaian perbaikan 10 November. Kalau sampai kurun waktu itu masih menimbulkan bau, produksi harus berhenti,’’ ungkap Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati. (ori/ron)