26.8 C
Mojokerto
Friday, June 9, 2023

Rokok Tingwe, Tak Sekadar Ikuti Tren

MELINTING rokok atau tingwe (ngelinting dewe)kembali mewabah di tengah pandemi Covid-19. Banyak yang meninggalkan rokok bermerek lalu beralih ke rokok tingwe. Ada yang memang sudah menjadi lelaku, namun tak sedikit yang sekadar ikut-ikutan.

 Melinting tembakau identik dengan perilaku sehari-hari puluhan tahun lalu. Para orang tua, menggulung tembakau dengan papir atau kertas rokok secara manual. Kini, di tengah banjir rokok kemasan, melinting tembakau kembali muncul sebagai satu tren di berbagai kalangan. Dari kalangan dewasa hingga anak-anak muda.

Bagi sebagian orang, tingwe bukan sekadar opsi menikmati rokok belaka. Ada filosofi dan latar belakang psikologis panjang di setiap hisapan tembakau yang diramu. ’’Dari menikmati jadi mensyukuri,” kata Jabbar Abdullah, salah satu perokok tingwe dari Kota Mojokerto.

Bukan hiperbola. Menurutnya, setiap rokok tingwe yang dihisap tidak bisa lepas dari tangan-tangan halus para petani yang merawat dan membesarkan tembakau. Tingwe, lanjutnya, adalah cara sederhana untuk menghormati para petani tembakau yang menurutnya jauh dari kata sejahtera. Keinginan itulah yabg membawanya kembali menikmati tingwe.

Setidaknya, selama tiga bulan terakhir, dia sudah lepas total dari rokok kemasan. Beragam jenis tembakau sudah dicobanya. Mulai dari tembakau tambeng asli khas Desa Tambeng, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo hingga tembakau gayo yang identik dengan warnai hijau. ”Tambeng itu kalau bahasa jawa kan nakal. Seperti rasanya ini yang halus tapi sangar,” ungkapnya.

Baca Juga :  Efisiensi dan PAD Sumbang Tinginya Silpa

Dia mengaku, kebiasaan tingwe ini sudah mengakar pada dirinya sejak duduk di bangku kuliah. Selain irit biaya, ia menemukan sensasi tersendiri yang membuatnya jatuh cinta pada seluk-beluk tembakau. Sehingga, jika benar-benar sebagai penikmat tingwe, orang seharusnya bisa memperlakukan dan mendalami tembakau. ’’Sempat lepas dari tingwe dan kena rokok instan. Tapi setelah itu kemudian total ke tingwe lagi,’’ terang pria 38 tahun tersebut.

Meninggalkan kebiasaan menghisap rokok instan kembali ke tingwe, diakuinya memang butuh masa transisi. Namun, tradisi tingwe yang sudah dilakoni selama bertahun-tahun tak membuatnya kesulitan untuk menekuni dunia melinting tembakau. ’’Ini nikmat dari gusti Allah dan jangan lupa mendoakan petaninya,’’ ujarnya. Adaptasi memang diperlukan untuk membiasakan lidah dari rokok instan ke tingwe.

Dari persoalan teknis seperti cara melinting tembakau sampai ke tingkatan memperlakukan tembakau. Setiap jenis tembakau disebutnya memiliki karakter berbeda sehingga perlu perawatan yang berbeda. Dari yang awalnya masih diselingi rokok filter, kini Jabbar sudah total merokok tingwe. ”Saya juga baca beragam literatur tentang tembakau dan melihat sendiri bagaimana petani-petani tembakau seperti di Kabuh (Jombang) itu berjuang,” terang Jabbar.

Baca Juga :  Pemkot-Warga Saling Klaim

Tak hanya orang-orang punya akar kuat tentang tradisi tingwe. Kebiasaan melinting rokok saat ini memang banyak meracuni kalangan muda yang ikut-ikutan. Tren ini bisa dipahami dari upaya aktualisasi diri untuk mengikuti gaya hidup yang kekinian. Bisa pula alasan ekonomi. Dari alasan kedua ini, diakuinya memang masuk akal.

Tingwe dinilai lebih murah dari rokok kemasan. Bagaimana tidak, satu ons tembakau seharga Rp 20 ribu bisa jadi ratusan batang rokok. Ini jauh berbeda dengan rokok kemasan dengan harga sama yang hanya berisi rata-rata 12 batang. ’’Tidak heran kalau banyak yang beralih ke rokok tingwe karena dari sisi pengeluaran pun lebih hemat,’’ ungkapnya.

Namun demikian, dia meyakini, kebiasaan tanpa diikuti keinginan untuk mempelajari dan mencintai tembakau tak ada membuat para penikmat tingwe musiman ini bertahan lama. ’’Sifatnya temporal dan kembali ke rokok instan lagi kalau hanya ikut-ikutan,’’ pria Lingkungan Tropodo, Kelurahan Meri, Kecamatan Kranggan itu. (adi)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/