25.8 C
Mojokerto
Sunday, June 11, 2023

Amanah Tuhan dan Senyuman Bercahaya

MENITI jalan kehidupan dengan penuh tantangan sosial dan religiusitas pernah dirasakan Ahmad Hasyim. Dilahirkan di Kota Malang, 26 Juni 1973 silam, menjadikan perjalanan pria yang kini tinggal di Dusun Gedang, Desa Mlirip, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, ini semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.

Menyimpan perasaan ’’tidak tega’’ dengan siapa pun perlahan tercipta secara naluri dalam catatan kehidupan pria yang hobi menciptakan lagu-lagu bernada religi ini. Sifat ketidaktegaan itu setelah dia mengalami betul manis pahitnya kehidupan yang dijalani selama puluhan tahun.

Bahkan, Hasyim mengaku, sejak kecil hidupnya berada dalam keluarga ’’miskin’’. Dia tinggal di rumah beranyaman bambu (gedeg) dan berlantai tanah. ’’Satu hal yang sangat saya maknai begitu mendalam adalah tentang kepercayaan Allah SWT yang telah memberi kesempatan saya menerima kepercayaan-Nya mengemban amannah hidup ’’miskin’’,’’ ujarnya mengawali cerita kehidupan masa lampaunya.

Dia mengaku menjalani kehidupan yang serbakekurangan sejak kecil hingga menginjak usia remaja tidak disadari justru mengajarkan tentang banyak hal. Terutama untuk mengenal lebih dekat dengan Tuhan, dan berada di antara sesama yang nasibnya tidak jauh beda dengan dirinya.

Baca Juga :  Seluruh RS Diminta Siapkan Ruang Isolasi

’’Sungguh keadaan miskin teramat besar pengaruhnya dalam membentuk pribadi dan sifat dasar saya. Tidak ada yang salah memang dalam setiap hal yang Allah SWT kehendaki atas setiap hamba-Nya. Justru di situ empati dan belas kasih seolah terpatri dalam jiwa ini,’’ imbuhnya.

Dia menceritakan, ketika usianya baru memasuki akil baligh,  Hasyim harus tinggal sendiri di rumah gedeg itu. Kedua orang tuanya bekerja di tempat jauh dari kediamannya di Kota Malang. Dia terpisah dengan kakak perempuannya yang disekolahkan seorang dermawan di Kota Surabaya.

’’Demikian juga kakak laki-laki saya harus ikut paman merantau di Pulau Dewata, Bali. Sedangkan adik bungsuku hidup bersama kerabat dan diajak transmigrasi ke Kalimantan,’’ jelasnya. Dalam keadaan yang demikian ini, Hasym pun mulai dibayangi ketakutan yang mendalam.

Takut akan kematian yang datang setiap saat kala dia hidup ”sebatang kara”. ”Pikirku saat itu bagaimana jika aku mati dan tidak ada yang tahu. Bagaimana jenazahku terbujur kaku tanpa ada yang mensedekapkan tanganku,” kenangnya. Sadar akan nasib hidupnya, dalam hati dia berusaha tetap teguh dan tegar.

Dengan membiasakan terus mengingat Sang Pencipta, serta membiasakan bersalawat sebagai tanda cinta terhadap Rasulullah SAW. ”Maka dari itu, sebelum tidur aku biasakan berwudu, berbaring sambil menyedekapkan tangan menghadap kiblat sembari bersalawat,” paparnya.

Baca Juga :  Bupati Mojokerto Serahkan Bantuan Ratusan Itik ke Peternak

Hingga suatu malam di antara tidur dan terjaga Hasyim bermimpi telah datang seseorang yang dalam bayangannya tampak dikelilingi cahaya dan melemparkan senyuman indah. ”Saya melihat sosok itu dihadapanku,” tandas Hasyim.

Semenjak itu, ghirah (semangat) untuk berjuang di jalan ilahi perlahan tertata. Hasyim pun kian menguatkan keinginanannya untuk hidup bermanfaat bagi orang lain. Dengan terus mengasah perilaku sosialnya bagi lingkungan, teman dekat, dan orang-orang yang hidupnya berada dalam kemiskinan.

Kenapa? karena lanjut Hasyim, dia mengaku merasakan betul derita yang orang lain rasakan. ”Sungguh jika aku diminta menyebutkan, hal apa yang patut aku syukuri sepanjang hidupku. Salah satunya, bahwa aku sangat bersyukur telah dipercaya Allah merasakan hidup miskin,” tandasnya.

Menurutnya, jika dipetik hikmahnya, sejatinya orang-orang yang kehidupannya berada di garis kemiskinan adalah hamba Allah SWT yang kuat dan amanah. (ris)

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/