28.2 C
Mojokerto
Thursday, June 8, 2023

Hutan Watu Blorok, Matinya Dua Pelacur dan Serangan Babi Hutan

DUA pelacur kesurupan gara-gara nyinden di Hutan Watu Blorok. Keduanya meninggal dan diangkat jadi penari ronggeng di dunia astral. Peristiwa yang diyakini sebagai keangkeran Watu Blorok itu membuat kawasan di jalur penghubung Gedeg-Dawarblandong tersebut disakralkan.

Selain peristiwa meninggalnya dua pelacur pada 1960-an, mitos kutukan Watu Blorok lebih dulu muncul dari petani sekitar yang gagal panen sedekade sebelumnya. Tanaman di sekitar Watu Blorok dirusak babi hutan karena masyarakat meninggalkan ritual sesaji.

Konon, hanya masyarakat Dusun Mojoroto, Desa Mojorejo, Kecamatan Jetis yang selalu menggelar kenduri setiap masa tanam. Desa ini berada di sisi barat laut Watu Blorok. Mereka membawa sesajen dan ritual.

Sauji, Tokoh Masyarakat Dusun Pasinan, Desa Kupang

Upacara itu membuat panen mereka berhasil dan makmur. Berbeda dengan petani yang tidak melakukan tradisi tersebut mengalami gagal panen. ’’Tanaman milik orang Kupang, Pasinan, Bangeran, Suru itu dirusak babi hutan. Sejak itu banyak orang menganggap karena tuah Watu Blorok,’’ kata Sauji, 87, warga Dusun Pasinan, Desa Kupang.

Tokoh masyarakat setempat tersebut menuturkan, keangkeran Watu Blorok kian menguat setelah peristiwa dua pelacur yang kesurupan. Sauji mengaku, menyaksikan sendiri kejadian pada 1968 tersebut. Ceritanya, tiga wanita pelacur dari Mojokerto hendak menyaksikan pertunjukan ludruk di Desa Suru, Kecamatan Dawarblandong. Mereka diantar menggunakan dua becak melewati jalur naik turun di kawasan Watu Blorok tersebut malam hari.

Baca Juga :  Terus Bergerak dan Berkarya

Selama perjalanan, dua dari tiga pelacur itu nggending. Yakni bernyanyi tembang Jawa sembari berjoget di atas becak. Sesampai di Watu Blorok, keduanya mengalami kesurupan. Mereka sempat disembuhkan oleh warga setempat, namun kembali kumat. ’’Dia kerasukan orang minta digendong dan badannya sangat berat,’’ ujar pria yang tinggal di rumah deretan paling ujung permukiman sebelum Watu Blorok tersebut.
Kesurupan yang menimpa keduanya terus-terusan kumat hingga akhirnya meninggal. ”Dia kesurupan karena nggending lewat situ,’’ terang pensiunan pegawai pabrik kayu putih tersebut.

Kakek empat cucu itu mengaku, menyaksikan sendiri peristiwa kesurupan tersebut. Saat itu, dia masih bekerja sebagai mandor pabrik kayu putih milik perhutani yang berada di lokasi. Peristiwa itu membuat Watu Blorok dikeramatkan. Selayaknya tempat ritual, di sekitar batu bisa ditemukan bekas-bekas sesaji. Seperti bunga tabur yang mulai mengering, rokok, dan telur, di permukaan batu. Hingga aroma dupa yang menguar dari bagian bawah.

Baca Juga :  Delapan Mobil Pemadam Lakukan Pemadaman Kebakaran Pabrik Minyak Kelapa

Watu Blorok terdiri dari dua batu yang terpisah jalan raya. Letaknya berada di Dusun Kupang sebelah utara. Berjarak sekitar 500 meter dari permukiman terakhir penduduk. Kedua batu terpisah di kanan-kiri jalan raya. Batu sisi timur yang berada di bawah pohon berukuran lebih kecil. Berbeda dengan keberadaan batu sisi barat jalan yang tampak lebih mudah ditandai dengan kain putih yang menyelimutinya. Batu berdiamater sekitar satu meter ini dilindungi tenda sederhana beratap galvalum.

Karena kesakralannya, beberapa kejadian kecelakaan di kawasan jalur naik turun itu dikaitkan dengan angkernya Watu Blorok. Olehnya, tak jarang pengguna jalan selalu membunyikan klakson saat melintas.

Berdasarkan cerita yang melegenda di masyarakat, Watu Blorok berkaitan dengan kutukan Jaka Welas dan Roro Wilis, putra ksatria era Majapahit Wira Bastam. Jaka Welas marah melihat wajah sang adik Roro Wilis dipenuhi bintik lantaran dikutuk oleh nenek jelmaan hutan setempat. Saat Wira menengahi keributan itu, kedua anaknya diam seribu batu. Hal itu membuatnya marah sehingga mengutuk keduanya jadi batu yang kelak disebut Watu Blorok. (adi/ron)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/