Hampir setahun para siswa kelas SD/MI meninggalkan bangku sekolah. Pandemi Covid-19 memaksa anak-anak harus belajar dari rumah masing-masing. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring justru membuat para guru kewalahan. Selain PR (pekerjaan rumah) siwa menumpuk, sistem belajar mengajar (KBM) tersebut dinilai tidak efektif.
AKTIVITAS belajar dari rumah selama masa pandemi Covid-19 tak lantas membuat gedung sekolah terabaikan. Ruang-ruang kelas masih tetap terbuka seperti biasa. Hanya saja kondisinya tampak lengang dan sunyi. Para siswa belum diperbolehkan belajar di bangku sekolah masing-masing.
”Ruang kelas tetap kami pakai. Guru-guru kalau ngajar ya di ruang kelas. Bedanya, nggak ada muridnya,” ujar Kepala SD Negeri Domas, Trowulan, Hartini(7/1). Penjaga sekolah masih tetap bertugas.
Ruang kelas tetap dibuka agar sirkulasi udara juga baik. Kegiatan belajar mengajar masih sama. Hanya metode pembelajarannya saja yang berbeda. Bahkan, jam-jam pelajaran yang dilakukan saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih sama dengan pembelajaran tatap muka.
Tanpa pengurangan jam sekalipun. Hartini menyebutkan, guru-guru masih masuk bergiliran sesuai dengan jadwal piket mengajar. ”Kalau piket ya tetap ngajar, terus ngajarnya di ruang kelas. Total ruang kelas ada enam, jadi tetap dibuka semua,” imbuh dia.
Harini mengaku lebih memilih mengajar secara langsung ketimbang daring. Sebab, dia merasa penyampaian materi tidak maksimal saat PJJ. Terlebih lagi, Kabupaten Mojokerto sama sekali belum melakukan tatap muka selama masa pandemi merebak.
Demikian pun, lanjut Harini, justru saat daring ini tugas murid mau tak mau bertambah banyak. ”Sebenarnya ya kasian juga sama anak-anak tugasnya banyak, tapi mau gimana lagi. Nggak hanya anak-anak, kami juga kewalahan sebenarnya dengan tugas segitu banyak,” keluhnya.
Selama PJJ, anak-anak diharuskan mengirim bukti foto saat mereka sedang mengerjakan soal melalui WhatsApp (WA). Tak hanya itu, mereka harus mengirimkan tugas yang sudah dikerjakan juga untuk dinilai.
Baru para guru akan mengecek nama mereka yang sudah mengumpulkan. Kemudian hasil pembelajaran disetorkan ke kepala sekolah. Semisal, ada murid yang sakit, baru pihak orang tua yang mengantarkan atau mengambil tugas si anak tersebut ke sekolah.
”Nanti kepala sekolah juga menyetorkan ke dispendik. Seribet itu memang. Jadi jangan dikira saat daring justru guru malah nyantai. Sama sekali nggak benar itu,” tutur Hartini. (oce)