Satu dari dua perawat Lapas kelas II B Mojokerto ini harus bekerja ekstra. Usai menangani pasien, ia harus menyelesaikan laporan administasi. Ia bekerja tak mengenal waktu.
YULIANTO ADI NUGROHO, Kranggan, Jawa Pos Radar Mojokerto
Sejumlah calon pasien di Poliklinik Lapas, tengah mengantre. Salah satu dari mereka berjalan masuk ruangan 3×4 meter itu sesaat setelah Yunis Argestin memanggil namanya. Perawat itu meminta narapidana narkoba tersebut berbaring di bed. Serangkaian pemeriksaan pun dilakukan.
Hari itu, memang menjadi hari yang sibuk bagi perempuan ini. Ada 35 narapidana yang mengeluhkan berbagai penyakit yang dideritanya. Poliklinik di Lapas ini ini hanya diurus dua orang.
Setiap hari, Yunis bekerja dibantu Udin Agus, yang juga seorang perawat. Keduanya berstatus sebagai pegawai lapas. Tanpa satu pun dokter, keduanya memberi layanan kesehatan kepada setiap warga binaan.
Dengan kondisi ini, keduanya selalu berkoordinasi dengan puskesmas terdekat dan rumah sakit. Yunis tak jarang berkonsultasi ke dokter umum terkait penanganan dan resep yang harus diberikan kepada pasien. ”Memberi terapi itu kewenangan dokter. Jadi kami tidak bisa lepas dari dokter umum di luar. Baik konsultasi melalui telepon maupun langsung,” katanya.
Konsultasi langsung sering dilakukan tanpa pasien. Yunis datang ke puskesmas menjelaskan penyakit yang diderita warga binaan dan meminta rekomendasi penanganan maupun resep obat. Konsultasi ini dengan pertimbangan tingkat kegawatan kondisi pasien. Jika kondisinya perlu dirujuk, pasien langsung dibawa ke rumah sakit.
Selama ini, keluhannya paling banyak adalah gatal-gatal. Hal ini bisa dilihat dari 815 pasien selama September, 61 persen di antaranya mengeluhkan penyakit kulit. ”Penyakitnya terbanyak scabies,” kata perempuan 40 tahun tersebut.
Di lingkungan lapas, penyakit kudis rentan menular. Terlebih warga binaan ini tinggal bersama secara berkelompok. Satu kamar hunian besar yang mestinya ditempati 20-25 orang kini diisi 70-an orang.
Selain itu, kondisi kebersihan diri dan lingkungan juga kian membuat penyakit menular ini banyak dialami warga binaan. Sementara itu, 39 persen lainnya menderita sakit HIV hingga TB. Lima pasien TB saat ini diisolasi dalam kamar perawatan khusus. Pihaknya harus melakukan kontrol dan pemeriksaan secara berjenjang dengan terus berkonsulasi pada dokter. ”Kadang tidak mengenal waktu kami minta konsultasi ke dokter,” ujarnya.
Beberapa tahun silam, seorang napi narkoba melahirkan di dalam lapas. Alhasil dia harus sering-sering meminta bidan untuk mengecek kondisinya hingga akhirnya sang bayi lahir. ”Dirawat sampai melahirkan. Terus bayinya dibawa pulang,” imbuhnya.
Selama pandemi, tidak pernah ada kunjungan dokter yang dulu dua minggu sekali datang. Poliklinik buka Senin hingga Sabtu mulai pukul 08.00-13.00. Hari Jumat layanan kesehatan hanya sampai pukul 11.00. Di luar jam layanan rutin, keduanya bergantian melakukan piket.
Hingga petang, mereka bakal disibukkan dengan laporan adimistasi. Selain tak memiliki dokter, dia juga tak memiliki pegawai administasi. ”Kerjanya memang dobel. Harapannya ya pastinya paling tidak ada satu dokter umum dan admin,” ungkap perempuan kelahiran Surabaya itu.
Hanya saja, Yunis sudah jadi perawat sejak 2005. Sedangkan, Udin Agus, baru bergabung 2017 lalu. Selama 12 tahun itu, dia seorang diri memberi pelayanan kesehatan kepada warga binaan yang kini totalnya mencapai 997 warga binaan. ”Jumlah warga binaan itu nambah terus. Awal saya masuk ke sini itu masih 180 sampai 200 orang. Tidak sampai sekarang yang sampai hampir seribu,” jelas ibu tiga anak ini.
Pengalaman panjang itu pula yang membuat Yunis selalu sigap memberi layanan pada pasien. Yunis tinggal di rumah dinas lapas. Dia menghuni rumah tersebut bersama anak dan suaminya. Tak jarang, jika ada pasien yang butuh penanganan, dia harus sigap. Jam berapapun. Yunis mesti bangun dan menangani pasien. Sebab nasib para narapidana berada di tangannya. ”Perawat segala jenis penyakit-lah. Jam dua jam tiga malam biasa harus bangun untuk memeriksa,” tuturnya. (ron)