DI tengah wabah korona, kebutuhan alat pelindung diri (APD) bagi kalangan tenaga kesehatan atau petugas medis di Mojokerto sangat tinggi. Per hari, bagi kalangan dokter saja kebutuhannya mencapai 380 unit.
’’Kebutuhan APD bagi tenaga kesehatan memang kurang,’’ ujar dr Muhamad Taufiq, Sp An, ketua Gugus Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mojokerto, kemarin.
Ia menyatakan, sebenarnya kalangan rumah sakit, puskesmas, dan klinik sudah berupaya memenuhi kebutuhan APD kalangan tenaga kesehatannya. Hanya saja, di pasaran, kata Muhamad, untuk mendapatkan APD sekarang sangat sulit. Mengingat, tingkat kebutuhan APD di Indonesia sangat tinggi semenjak wabah korona melanda. Akibatnya, tak sedikit rumah sakit yang kesulitan dapatkan APD.
Untuk menutupi kebutuhan tersebut, lanjut dr Muhamad, banyak dari kalangan tenaga kesehatan yang berinovasi. Bahkan, ada pula yang berupaya membuat APD secara mandiri. ’’Termasuk salah satunya dengan jas hujan dan lainnya,’’ imbuh Muhamad.
Menurut perhitungan IDI Mojokerto, estimasi kebutuhan APD bagi dokter per 10 hari, membutuhkan sebanyak 3.800 unit. Dengan asumsi anggota IDI Mojokerto mencapai 400 dokter. Per harinya, kalangan dokter itu bertugas melayani pasien, sehingga minimal membutuhkan satu unit masker bedah. ’’Itu hanya kebutuhan dokter saja. Bukan termasuk perawat dan lainnya,’’ tutur dia.
Di samping kebutuhan APD, pihaknya mengaku prihatin atas merebaknya wabah korona yang memunculkan stigma negatif terhadap kalangan penderita Covid-19, seperti dianggap aib. ’’Kami prihatin banyak kabar penderita atau jenazah ditolak. Padahal, korona bisa menjangkiti semua orang,’’ terang dia.
Adanya kesan aib tersebut, tambah dia, sekarang banyak pasien yang kerap tidak jujur saat di-anamnesis atau pemeriksaan awal oleh tenaga kesehatan. Ketika memberikan keterangan tidak sebenarnya, kalangan tenaga kesehatan memeriksa tanpa APD lengkap. ’’Setelahnya baru jujur kalau ODP (orang dalam pemantauan). Akibatnya, tenaga kesehatan akhirnya ikut dirumahkan dan isolasi mandiri akibat ketidakjujuran pasien,’’ imbuh dia.
Karena ketidakjujuran pasien, tenaga kesehatan terpaksa diperintahkan isolasi mandiri selama 14 hari. Padahal, lanjut Muhamad, jumlah tenaga kesehatan terbilang terbatas. Jika ada pengurangan tenaga medis karena isolasi mandiri, malah pelayanan ke pasien juga tidak optimal. ’’Keluhan teman sejawat yang merawat pasein kondisinya demikian. Akhirnya pemeriksaan awal jadi sedikit njlimet agar pasien mau jujur dan tidak terkesan diinterogasi,’’ tandas dia.