KABUPATEN, Jawa Pos Radar Mojokerto – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kabupaten Mojokerto menyatakan kalangan apoteker bukanlah pihak penimbun masker. Survei terhadap seluruh anggota IAI yang mengelola apotek justru mengalami defisit masker.
Ketua Pengurus Cabang IAI Kabupaten Mojokerto Merry Patrilinilla Chresna S.Farm, M.Kes, menyatakan, kalangan apoteker kerap distigma negatif di tengah melonjaknya kebutuhan masker di masyarakat. Padahal, pihaknya meski menjual masker tetapi bukan tergolong penimbun masker. ’’Justru yang sekarang terjadi itu kelangkaan masker. Para anggota kami melaporkan masker sulit didapatkan,’’ ujarnya kepada Jawa Pos Radar Mojokerto, kemarin.
Dia menjelaskan, kelangkaan masker itu telah dikaji IAI. Termasuk dengan melakukan survei cepat ke seluruh apoteker yang menjadi anggota IAI Kabupaten Mojokerto. ’’Jadi yang pertama ini disebabkan dari distributor dan sub distributor itu banyak yang kosong. Kemudian ada yang membatasi pemesanan. Lalu, barang ada akan tetapi dijual dengan harga tinggi,’’ jelas Meri.
Di tengah kelangkaan masker tersebut, para anggota IAI yang juga mengelola apotek di wilayah kabupaten tentunya khawatir apabila dituding sebagai penimbun. Atau sebagai bagian dari tindakan penimbunan. Padahal, di sisi lain, faktanya memang terjadi kelangkaan, dan dari distributor juga sulit didapatkan masker. ’’Dari profil apotik yang kami survei mayoritas kosong. Sudah 90 persen lebih tidak ada barang,’’ imbuh perempuan berjilbab ini.
Hingga kini, pihaknya juga masih menunggu laporan dari kalangan apoteker terhadap ketersediaan masker. Pihaknya juga mengimbau agar seluruh anggota terus berkoordinasi dan mendukung imbauan pemerintah terkait pencegahan virus korona.
Merry menyebutkan, berdasarkan penelusurannya, ketersediaan masker banyak diperjualbelikan secara online. Akan tetapi, kisaran harganya tidak masuk akal alias di luar kewajaran. ’’Normalnya untuk per boks berisi 50 pieces masker itu seharga Rp 50 ribu. Jadi hitungannya per masker itu Rp 1.000 saja. Kalau sekarang di online ada yang jual sampai Rp 1 juta per box,’’ terang perempuan yang tinggal di Jalan Jawa ini.
Praktik penjualan masker dan juga obat-obatan melalui jalur online tersebut, menurut dia, terbilang mengkhawatirkan. Karena praktik penjualan itu tidak dilengkapi dengan standarisasi yang jelas. Juga, tidak mempunyai kejelasan teknik penyimpanan obat maupun maskernya. ’’Kalau lewat online itu tidak jelas asal-usulnya. Standar penyimpanannya bagaimana. Sementara, pengawasannya tidak ada,’’ tandasnya.
Jauh sebelum merebak kabar terkait penyebaran virus korona, IAI telah banyak melaporkan dan mengadukan ke BPOM. Utamanya, terkait praktik penjualan obat dan masker melalui online. ’’Para penjual obat atau masker lewat online itu meresahkan. Kami prihatin dengan kondisi itu,’’ tandas Meri.
Di tengah maraknya penjualan obat atau masker secara online itu, masih kata dia, justru tempat penjualan obat atau masker yang legal dan berstandarisasi menjadi sasaran stigma penimbun. Padahal untuk mendirikan apotik atau menjadi apoteker diperlukan tahapan yang tak mudah.
Seorang apoteker merupakan individu yang menjalani tahapan keilmuan yang terstandarisasi. Kemudian, apotek juga memiliki izin resmi lalu secara berkala mendapat monitoring dari instansi terkait. ’’Kami juga menunaikan kewajiban dengan membayar pajak. Akan tetapi, apabila ada kejadian kelangkaan seperti masker ini, di daerah-daerah lain kami kerap distigma sebagai penimbun dengan menjadi sasaran sidak,’’ pungkas Meri.