MOJOANYAR, Jawa Pos Radar Mojokerto – Di tengah pandemi Covid-19 ini, sektor perekonomian sangatlah terdampak. Bahkan, industri tahu pun tak luput terkena imbasnya. Hasil produksi yang makin anjlok mengakibatkan sejumlah perajin makanan khas Indonesia ini gulung tikar.
Samsul Hadi, salah satu pemilik pabrik tahu di Desa Kepuhanyar, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto mengatakan, selama diterjang pandemi, produksi tahunya kian anjlok. Sebelum pandemi dia mampu mengolah 2,5 ton kedelai dalam sehari. Kini, dia hanya mampu mengolah 1 ton kedelai. ”Kami sudah ndak bisa produksi banyak kayak dulu lagi. Kalau (produksi) banyak lagi, sekarang malah jadinya rugi,” katanya.
Dia menjelaskan, sejak pandemi melanda permintaan tahu kian menurun. Disinyalir, daya beli masyarakat juga terpuruk akibat terdampak pandemi sehingga turut memengaruhi usahanya. ”Sekarang permintaannya saja sudah menurun 40 persen,” tutur pria paro baya itu.
Hal tersebut membuat sejumlah perajin tahu mengalami kerugian. Bahkan, mereka terpaksa gulung tikar lantaran tak mampu memproduksi olahan kedelai. ”Sejak pandemi itu mulai banyak yang kukut (tutup). Setahu saya (perajin tahu) sekarang cuma tinggal tiga. Di sini, Losari, sama Pacing,” ungkapnya.
Menurut dia, harga bahan baku kedelai yang terus merangkak naik menjadi salah satu penyebab. Dia menegaskan, sebelum pandemi melanda, harga kedelai impor masih di bawah Rp 7 ribu perkilogram (kg). Kini, harga kedelai itu sudah menyentuh angka Rp 10.500 per kg. ”Sekarang kalau beli grosir harga kedelai impor sudah segitu. Kita ndak bisa pakai kedelai lokal karena kualitas dan jumlahnya ndak memadai,” bebernya. Samsul mengaku selama ini pihaknya membeli bahan baku tahu itu di salah satu importir kedelai di Surabaya.
Samsul menyatakan, meski bertubi-tubi terpaan melanda dunia produksi tahu, pilihan tetap kembali kepada masing-masing perajin. Apalagi, produksi tahu tak bisa diutak-atik demi menjaga kualitas dan kepuasan konsumen. ”Sekarang kita tinggal sesuaikan harganya saja. Mau tidak mau ya begitu. Ndak bisa kita kurangi. Soalnya, tahu memang butuh kedelai banyak supaya bisa padat dan kenyal,” tegasnya.
Kini, Samsul berusaha terus bertahan ditengah terpaan dampak pandemi itu. Dia tak ingin merumahkan 30 karyawan maupun menutup pabrik yang berdiri sejak 2012 itu. ”Sekarang kita sudah ndak bisa ngomong omzet atau keuntungan. Karena pilihannya (hanya) bisa bertahan atau tidak,” tukasnya. (vad)