HIDUP di perantauan dan berpindah-pindah bukan hal baru bagi diri saya. Namun, perpindahan tempat merantau kali ini tidak pernah terbesit sebelumnya di pikiran saya.
Bekerja di industri keuangan mengharuskan saya untuk siap ditugaskan kemanapun. Termasuk ke Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Sudah lima bulan ini saya menginjakkan kaki di Nabire.
Sebuah kabupaten yang terletak di punggung Pulau Cendrawasih. Jika diukur dengan Google Maps, jarak antara rumah saya di Mojokerto dengan lokasi saya saat ini tak kurang dari 4.772 kilometer (Km).
Pernah terpikirkan sebelumnya jika suatu saat saya bekerja di daerah yang jauh dari kampung halaman dan jauh dari keramaian. Saya berangan-angan kegiatan apa yang akan saya lakukan ketika akhir pekan tiba ataupun selepas jam kantor usai.
Tampaknya pertanyaan itu terjawab tidak lama setelah saya tiba di Nabire. Saat ini saya sedang disibukkan dengan kegiatan saya bersama sebuah yayasan sosial untuk membangun asrama bagi siswa yang berasal dari kawasan pedalaman Papua.
Cita-cita kami sederhana, kami hanya ingin memfasilitasi anak-anak yang berasal dari pedalaman agar tidak perlu lagi berjalan kaki satu hingga tiga jam untuk bersekolah. Banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan selama berinteraksi dengan anak-anak pedalaman asli Papua.
Terutama bersyukur memiliki keluarga yang perhatian. Jauh dari keluarga di bulan Ramadan kali ini mungkin terasa berbeda. Komunikasi yang saya lakukan keluarga hanya sebatas telepon dan video call.
Perbedaan zona waktu tentunya menjadi hal unik dalam komunikasi saya dengan keluarga. Sebab wilayah Nabire masuk dalam zona waktu Indonesia timur (WIT).
Sehingga ketika di sini sudah tiba jam salat Subuh, keluarga di Mojokerto yang notabene masuk zona waktu Indonesia barat (WIB) justru baru akan melaksanakan sahur. Yang menyenangkan bagi saya adalah ketika saya hendak berbuka puasa.
Saya dengan perasaan puas mengirim gambar-gambar sajian menu buka puasa kepada adik saya. Yang mana waktu buka puasa di Mojokerto masih sekitar dua jam lagi.
Yang tidak kalah menarik bagi saya adalah setiap kali ibu saya bertanya berapa harga sajian buka puasa yang saya beli. Tak jarang ibu saya kaget dengan harga yang saya sampaikan.
Ya, makanan di Papua memang cenderung lebih mahal dibanding di daerah lain, terutama di Mojokerto. Jika dulu saya berani pergi ke Jalan Benteng Pancasila (Benpas) atau Jalan Mojopahit untuk mencari sajian bulan puasa dengan membawa uang Rp 30 ribu, saat ini saya harus berpikir dua kali untuk melakukan hal itu.
Ramadan tahun ini mungkin saja saya tidak bisa berkumpul dengan keluarga dan hanya bisa menyanyikan lagu Didi Kempot berjudul ”Ora Iso Mulih”. Namun, lagi-lagi tidak ada alasan untuk tidak bersyukur.
Saya tetap bersyukur karena masih memiliki keluarga yang lengkap dan perhatian. Sebab, realita yang saya temui selama berinteraksi dengan anak-anak pedalaman Papua adalah mereka memiliki keluarga yang memang cukup dekat secara fisik.
Akan tetapi, mungkin saja mereka tidak memiliki kedekatan secara emosional dengan orang tuanya karena merasa tidak diperhatikan. Jarak fisik mungkin memisahkan saya dan keluarga saat ini, tapi tidak dengan kedekatan emosional kami. (ram)
*)Disarikan dari wawancara wartawan Jawa Pos Radar Mojokerto.