Sebagian orang menilai labelisasi Keluarga Miskin lewat penempelan stiker di dinding rumah milik penerima bantuan sosial (bansos) cukup diskriminatif. Namun, sebagian lainnya, menganggap cara itu sebagai hal yang lumrah. Bahkan, tak sedikit keluarga penerima manfaat (KPM) yang tersadarkan hingga menyatakan mundur dari penerimaan bansos.
FARISMA ROMAWAN, Pacet, Jawa Pos Radar Mojokerto
SITI MUASAROH, warga Dusun Bulak Kunci, Desa Nogosari, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, cukup semangat ketika ditanya soal alasan dirinya mundur dari kepesertaan penerima bansos PKH (program keluarga harapan) Kementerian Sosial (Kemensos).
Saking semangatnya, Saroh sapaan akrabnya, sangat detail menceritakan tekanan mental yang ia rasakan selama 11 tahun mendapat bantuan atau sejak 2007 silam. Di mana, sindiran kerap ia terima dari tetangga sekitar, kala mendapat bantuan setiap bulannya. Hal itu yang membuatnya malu hingga memutuskan untuk keluar atau mundur dari daftar KPM. ’’Ya, malu lah. Masak bertahun-tahun dapat bantuan terus. Apalagi juga nggak sedikit orang yang ngatain masih muda kok dapat bantuan,’’ tuturnya.
Keputusannya mundur baru ia sampaikan kepada pendamping periode Agustus lalu. Saat itu, ia sadar betapa dirinya sudah sangat mampu dalam membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Termasuk memenuhi kebutuhan pendidikan tiga buah hatinya yang kini mulai beranjak dewasa. Firman, anak pertamanya, telah lulus SMA dan tengah melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Disusul Mayang, yang kini masih duduk di kelas VIII SMP. Serta, Alinda yang masih berusia 7 tahun atau duduk di kelas 1 MI.
Sejak dua bulan terakhir, ketiga buah hatinya sudah tak lagi mengandalkan bantuan operasional dari PKH. Saat ini, Saroh bersama sang suami, Paiman, cukup mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil usaha pertanian yang mereka tekuni selama setahun terakhir. Berupa usaha pembibitan tanaman palawija di sekitar rumahnya. ’’Usahanya mulai bulan sembilan tahun 2018. Modalnya cuma Rp 4 juta untuk bikin green house dan sewa lahan Rp 1,3 juta untuk empat tahun,’’ tuturnya. Meski baru merintis, namun Saroh mengaku usahanya sudah cukup menghasilkan untung yang lumayan. Di mana, setiap bulan ia bisa meraup untung bersih senilai Rp 1,5 juta dari hasil kerja sama dengan perusahaan produksi pertanian di Malang. Nominal sebanyak itu belum ditambah komisi bagi hasil saat musim panen tiba.
Di mana, untungnya bisa mencapai jutaan rupiah. Dan, yang lebih membanggakan lagi, usahanya itu juga bisa membantu KPM lain dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan mempekerjakan sebagai petani di lahan pertaniannya dengan upah Rp 35 ribu yang bisa ia sumbang per harinya. ’’Saya dibantu empat orang, dan semuanya juga penerima PKH. Ya sedikit-sedikit, yang penting hasil kerja sendiri dan tidak tergantung dari bantuan,’’ tambah perempuan 35 tahun ini.
Tidak hanya dari hasil pertanian. Saroh juga dibantu Paiman, 45, dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bekerja sebagai pemotong kayu. Di mana, setiap bulan, ia bisa meraup upah senilai Rp 2,4 juta.’’Kalau ditotal sebulan hasil pertanian saya dan upah dari bapaknya (Paiman, Red), ya sekitar Rp 4 juta. Meskipun masih kurang sedikit, tapi saya tetap bangga bisa dapat uang mandiri,’’ tandasnya. Selain Muasaroh, setidaknya terdapat 554 kepala keluarga (KK) lain yang menyatakan mundur di pencairan PKH tahap keempat tahun ini. Jumlah itu berpotensi bertambah seiring labelisasi Keluarga Miskin yang digenjot Pemkab Mojokerto seminggu belakangan. Dimana, beban mental dipertaruhkan 35 ribu KPM penerima bansos PKH, BPNT, dan bantuan sosial lainnya.