MOKERTO – Laporan atau pengaduan masyarakat (dumas) tentang dugaan pelanggaran program kepengurusan Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) atau Pendaftaran Tanah Sitematik Lengkap (PTSL) di Kabupaten Mojokerto diam-diam terus mengalir di meja kepolisian.
Bahkan, tak sedikit warga sebagai pemohon mengaku mengeluhkan tingginya tarif pelayanan program yang ditentukan. Mulai dari Rp 400 ribu hingga menembus angka jutaan rupiah. Padahal, program pemerintah yang menyasar tanah belum bersertifikat tersebut seharusnya tanpa biaya alias gratis.
Kasatreskrim Polres Mojokerto AKP M. Solikhin Fery mengatakan, dugaan pungli Prona memang bukan rahasia umum lagi. Bahkan, dia mengakui saat ini ada beberapa laporan dan dumas masuk ke kepolisian.
Namun, Fery enggan membeber lebih detail perihal desa-desa mana saja yang masuk dalam daftar pengaduan tersebut. Dia menegaskan, dari ratusan warga yang mengurus, setiap pemohon dikabarkan dikenakan sejumlah uang.
Dalihnya sama, digunakan sebagai honorarium panitia, hingga pembelian materai dan patok. Salah satunya yang sudah terungkap adalah pelaksanakan Prona di Desa Selotapak, Kecamatan Trawas. ’’Harganya memang bervariasi. Ada yang Rp 600 ribu hingga Rp 400 ribu per pemohon. Menyesuaikan desa masing-masing,’’ bebernya.
Kendati demikian, dari sejumlah dumas, penyidik dituntut bekerja cerdas. Artinya, lanjut Fery, tak semua laporan ditelan mentah-mentah. Sebab, penyidik harus tetap melakukan pengumpulan barang bukti dan keterangan. Baik secara masif di tengah masyarakat maupun menggali keterangan dari saksi-saksi.
Namun, sejalan dengan penindakan, dia menyebut, akan tetap kembali pada pembuktian. ’’Termasuk dalam menentukan status tersangka terhadap pungli. Khususnya yang mengarah pada unsur tindak pidana korupsi,’’ terang perwira dengan tiga balok di pundak ini.
Sebab, sedikit atau banyak dinilai sarat dengan melanggar aturan dan rentan masuk kategori pidana. Namun, sepanjang pungutan yang diminta dari setiap pemohon bisa dipertanggung jawabkan dan disesuaikan dengan kebutuhan program, hal itu masih dinilai wajar.
Sebaliknya, kata Fery, ketika ada hal-hal mengarah pada unsur tindak pidana korupsi, seperti pengeluaran-pengeluaran tak wajar atau untuk kepentingan pribadi, kondisi itu harus diproses secara hukum. ’’Yang jelas, sepanjang bisa dipertanggung jawabkan tidak masalah. Karena, panitia kan juga butuh biaya operasional seperti bensin dan konsumsi,’’ tandasnya.
Fery menegaskan, sejauh ini upaya prefentif dengan mengedepankan unsur pencegahan dibanding penindakan sudah dilakukan di setiap desa yang menjadi sasaran program PTSL. Bahkan, kepolisian sudah menggandeng kejaksaan dan BPN. Tujuannya, sekaligus memberikan arahan hingga tidak sampai terjadi tindakan melawan hukum.
’’Pendampingan itu kita lakukan sejak awal. Tapi, faktanya masih ada saja. Terbukti sudah ada satu kasus yang kami tetapkan sebagai tersangka,’’ pungkasnya. Baru-baru ini, kasus dugaan pungli Prona yang terungkap ada di Desa Selotapak, Kecamatan Trawas.
Polisi bahkan telah menetapkan lima tersangka dan melakukan penahanan. Di antaranya, Kades Selotapak Tisno, ketua panitia Lanaru, wakil ketua panitia Isnan, bendahara panitia Muslik, dan seorang anggota Slamet.