Nasabah Bisa Cairkan Pinjaman hingga Miliaran Rupiah
KOTA, Jawa Pos Radar Mojokerto – Berbagai kejanggalan kembali ditemukan Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto dalam mengusut dugaan korupsi di tubuh BPRS. Selain satu agunan bisa dipakai lebih dari satu pinjaman, jaminan yang dipakai nasabah juga berasal dari surat perjanjian kontrak (SPK) proyek yang hampir kedaluwarsa. Meski begitu, dana miliaran rupiah tetap bisa dicairkan.
Kasubsi Tindak Pidana Khusu Kejari Kota Mojokerto, Erwan Adi Priyono, mengatakan, berbagai alat bukti dari hasil penyelidikan peristiwa melawan hukum dengan kerugian Rp 50 ini sudah banyak dikantongi. Hal itu menjadi penguat penyidik dalam penetapan tersangka dalam perkara ini.
’’Dari puluhan saksi yang kami periksa, sejumlah alat bukti memang sudah kami kantongi. Beberapa kejanggalan juga sudah kami temukan, saat ini tinggal menguatkan saja,’’ ungkapnya.
Selain nilai agunan yang tak sebanding dengan pinjaman dan satu agunan nasabah digunakan di tiga kali pinjaman bahkan lebih, terbaru, penyidik kejari kota juga menemukan nasabah yang cuma bermodal SPK dalam pengajuan pinjaman.
Sistemnya, pembayaran kredit yang bakal dilakukan nasabah itu melalui pengerjaan yang berasal dari pemerintah. ’’Jadi, pencairannya setiap ada progres pembangunan dari SPK itu. Beberapa fakta yang kami temukan, SPK yang dijadikan jaminan itu kebanyakan sudah mendekati masa kedaluwarsa. Dalam arti, pekerjaan itu sudah akan selesai tiga hari lagi,’’ tegasnya.
Disebutnya, kejanggalan itu kian menguatkan penyidik jika selama empat tahun atau sejak kurun 2017 sampai 2020, proses pembiayaan di tubuh badan usaha milik daerah (BUMD) itu tidak beres. Hingga timbul kerugian keuangan negara sebesar Rp 50 miliar yang mengakibatkan perusahaan kolaps dan sistem keuangan bank tidak sehat.
’’Kan tidak mungkin, pekerjaan dengan nilai besar, miliaran rupiah, dijaminkan masanya tinggal tiga hari. Dan itu cair, bahkan nilainya tinggi ratusan juta sampai miliaran rupiah,’’ tambahnya.
Modus dengan berbekal SPK ini. lanjut Erwan, tergolong tak sedikit. Pekerjaan proyek tersebut juga tersebar di berbagai kota besar, seperti Bandung. ’’Posisi proyek macam-macam, sampai ada yang di Bandung, dan itu belum tahu, proyeknya betul-betul ada atau SPK bodong saja, kami perlu cek dulu, ada pekerjaannya atau tidak,’’ tegasnya.
Modus ini tak berbeda dengan kasus dugaan korupsi penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan Kredit Modal Kerja (KMK) di Bank Jatim yang juga tengah diusut kejari. Perkara yang tengah masuk persidangan dengan nilai kerugian Rp 1,4 miliar ini juga hanya bermodalkan SPK.
’’Tapi di BPRS ini proses pencairannya terlalu cepat, satu hari berkas datang, satu hari itu juga cair. Kreditnya juga bernilai besar, ada yang Rp 1 miliar, ada juga yang Rp 2 miliar, dan itu kebanyakan macet,’’ papar Erwan.
Berdasarkan aturan di BPRS, pencairan sebesar itu juga harus sesuai dengan persetujuan direksi. Direktur utama dan direktur operasional.
Sebelumnya, penyidik kejaksaan negeri menemukan fakta baru dalam membongkar dugaan korupsi di tubuh BPRS Kota Mojokerto. Di antaranya, satu agunan dengan nilai kecil, bisa digunakan di banyak pinjaman. Sebagai percepatan penuntasan, kejaksaan membentuk tim khusus.
Ada tujuh penyidik dilibatkan dalam tim penyidikan dengan Kepala Kejari Kota Mojokerto Hadiman, sebagai ketua tim. Itu setelah kasus ini menjadi atensi khusus kejaksaan Tinggi Jawa Timur lantaran menjadi kasus besar di daerah dan harus dituntaskan.
Mantan Kajari Kuantan Singingi, Riau ini menegaskan, indikasi munculnya konspirasi antara pihak kreditur dan debitur memang cukup kuat. Itu setelah banyak kejanggalan prosedur pencairan utang yang ditemukan penyidik.
Selain nilai agunan lebih rendah, pengajuan utang yang dilakukan bisa langsung cair di hari yang sama juga menjadi temuan kejaksaan. ’’Apakah itu murni dari nasabah , atau ada campur tangan pihak bank untuk memuluskan pinjaman yang tidak sesuai peruntukannya, sehingga muncul gratifikasi, itu yang kita terus dalami,’’ jelas Hadiman. (ori/ron)