30.8 C
Mojokerto
Sunday, May 28, 2023

Lagi dan Lagi, Ibadah Dipersulit

oleh: Hasyim MAH
Pengurus Yayasan Islam Fajar Shodiq

DAN terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali. Sekelompok warga di Lampung membubarkan ibadah di sebuah gereja karena dianggap gedungnya belum mendapatkan izin. Tiba-tiba ada sekelompok warga jadi garda terdepan pembela aturan keperuntukan sebuah bangunan hanya karena tak ingin umat agama lain beribadah.

Saya berandai-andai, misal ada puluhan umat Islam tinggal di sebuah kota kecil di Jepang. Mereka berencana membangun masjid di kota itu. Namun ternyata warga di kota itu menolak pembangunan masjid. Kira-kira, bagaimana perasaan kita sebagai umat Islam di Indonesia saat mendengar kabar itu?

Kita marah! Mengutuk pemerintah Jepang karena tidak toleran terhadap agama minoritas. Kita demo Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. Kita serbu akun media sosial artis-artis Jepang dan teror mereka. Kita boikot semua restoran Jepang di Indonesia. Kita berhenti pakai kendaraan Jepang. Eh, dua kalimat terakhir rasanya nggak mungkin, ya? Okelah, pokoknya kita umat Islam Indonesia marah.

Kita merasa wajar untuk marah, namun di sisi lain kita di sini, di Indonesia, juga terjadi pelarangan terhadap pembangunan tempat ibadah lain. Kalau tak mau disebut ada pelarangan, minimal terjadi proses mempersulit. Dan itu benar-benar terjadi di negara kita. Entah itu melarang pembangunan gereja, hingga penggerebekan proses ibadah yang dilakukan di rumah warga.

Kita umat Islam tiba-tiba menjadi sukarelawan pemerintah daerah dalam membela peraturan tentang IMB. Tiba-tiba, kita secara sukarela membantu para petugas ketika ada orang-orang berkumpul untuk ibadah di sebuah rumah yang dianggap tidak berizin.

Dalam melarang orang lain beribadah, kita selalu berkilah dengan aturan. Entah itu soal IMB, entah itu soal kesepakatan leluhur, entah itu masalah perizinan, atau aturan-aturan lain yang bisa dipakai untuk melarang orang lain beribadah, karena poin tujuan kita memang: tidak mau orang lain beribadah! Soal pelanggaran aturan, itu hanyalah alat kita untuk mewujudkan tujuan kita itu tadi.

Baca Juga :  Kepala SMPN 2 Dawarblandong Enis Pramesti, Wanita Wajib Pegang Tiga Komitmen

Lalu, apakah melarang atau mempersulit ibadah orang lain itu adalah ajaran agama kita, agama Islam? Apakah jika kita di kondisi minoritas juga ’’suka’’ jika dipersulit untuk beribadah? Apakah kita juga akan gembira saat kita di posisi minoritas dilarang membangun masjid?

’’Tapi memang ada kok di sebuah daerah di Indonesia yang umat Islam minoritas juga dilarang bangun masjid. Jadi kita berhak dong melarang pembangunan gereja di tempat kita,’’ begitu kira-kira komentar seorang netizen saat saya menyampaikan pendapat saya di Twitter tentang hal ini.

Alih-alih melakukan kebaikan supaya kita bisa menuntut saudara kita diperlakukan dengan baik, kita ternyata lebih memilih membiarkan saudara kita di tempat lain diperlakukan dengan buruk supaya kita juga ’’berhak’’ melakukan keburukan ke orang lain.

***

Kalau kita mau berpikir logis, sebenarnya sudah cukup jelas bahwa melarang atau mempersulit orang lain beribadah itu jelas tidak benar. Selama ibadah itu tidak ada bunuh-bunuhan atau mengganggu hak orang lain, semua keyakinan berhak melakukannya. Logika dasar itu dulu yang harus kita pegang. Kita tak perlu bicara undang-undang atau peraturan lainnya.

Jika kita mau membuat aturan, semua harus didasarkan pada prinsip itu bahwa semua keyakinan berhak melakukan ibadah. Tak seharusnya ada aturan yang menghalangi prinsip itu. Misal ada gereja yang harus segera dibangun meski IMB-nya belum muncul, seharusnya kita malah membantu supaya proses IMB segara keluar, bukan menghentikan pembangunan.
Bahkan misal melarang pendirian gereja karena dulu sudah ada kesepakatan leluhur, ya sudah saatnya kesepakatan itu kita ubah. Kita tahu, pelarangan pembangunan gereja di Cilegon beberapa waktu lalu konon didasarkan dengan adanya kesepakatan yang dibuat tahun 1975.

Baca Juga :  dr Dwi Rizki Wulandari, M.Pd, Merangkap Dua Peran Itu Kebanggaan

Dunia berjalan dan berkembang. Semua kesepakatan sangat mungkin kita update. Apa salahnya kita mengubah kesepakatan leluhur, kondisi zaman dulu dan sekarang kan jelas berbeda.

Agama Islam itu mengajarkan kebaikan. Mengajak untuk berlomba dalam kebaikan. Kita tidak disuruh berlomba dalam keburukan. Kita tidak disuruh ketika orang lain berbuat keburukan lalu kita harus melakukan keburukan yang lebih besar. Kita disuruh berbuat baik. Bahkan kepada orang yang melakukan keburukan pada kita.

Orang sering kali memakai dalil perang untuk berbuat buruk ke agama lain, namun mereka melupakan saat Nabi Muhammad memberi contoh dengan tidak membalas orang yang melempari beliau dengan kotoran sekalipun.

Dalam kondisi perang, nabi memang tegas. Namun saat bermasyarakat, nabi jelas sangat-sangat baik. Akhlaknya luar biasa baik. Dan tanpa itu, ajarannya tak akan dianut oleh banyak orang saat itu. Lalu, saat ini kita di negara kita ini, kita tidak sedang berperang. Kita sedang membangun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang baik dengan berbagai penganut keyakinan. Sudah selayaknya kita menganut akhlak Nabi dalam bermasyarakat, bukan logika di saat berperang.

Nah, saat kita merecoki pembangunan ibadah agama lain itu kira-kira kita sedang meniru akhlak Nabi atau hanya menuruti hawa nafsu kita?

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/