Berawal dari hobi, Dian Angga Prasetyo seorang sarjana teknik sipil asal Kecamatan Pungging sukses membudidayakan lobster air tawar. Biaya perawatannya murah dan sekali panen bisa meraup jutaan rupiah. Sudah puluhan orang, dari yang awam sampai yang gagal budi daya berbagai jenis ikan datang belajar merintis bisnis lobster air tawar padanya.
YULIANTO ADI NUGROHO, Pungging, Jawa Pos Radar Mojokerto
GEMERICIK air senantiasa mengucur ke kolam-kolam lobster di halaman belakang rumah milik Dian Angga Prasetyo, kemarin (26/2). Ada enam kolam berisi ribuan ekor lobster air tawar berumur hitungan hari sampai tiga bulan yang harus dia hidupi. Lobster-lobster itu dalam proses pengembangan. Ada yang masih baru menetas, sedang dalam pembesaran, karantina, hingga indukan yang siap jual.
”Yang kolam pojok baru menetas, isinya sekitar seribu ekor lobster. Yang lain berisi sekitar 300 ekor,” kata Angga, sapaannya. Di halaman rumahnya di Dusun Manukan, Desa Balongmasin itulah, pemuda 29 ini mengembangkan budi daya lobster air tawar. Bayi-bayi lobster dirawat sampai umurnya tiga bulan baru dijual. Ukuran lobster yang siap jual itu memiliki panjang minimal 3,5-4 inchi.
Lobster ari tawar habis budi dayanya ini dipasok ke sebuah restoran di Sidoarjo. Sekali panen, Angga mampu menjual sekitar 500 ekor. Satuan penjualan lobster yakni per set berisi 10 ekor seharga Rp 100 ribu. Dengan jumlah 500 ekor lobster, Angga bisa meraup penghasilan sekitar Rp 5 juta. Di luar itu, Angga juga menjual lobster Rp 130 ribu per kilogram yang berisi 18-20 ekor lobster. ”Siklusnya memang tiga bulan sekali panen. Dari indukan mulai bertelur, terus menetas, nanti sebulan sekali disortir, sampai akhirnya tiga bulan siap dijual,” bebernya.
Angga mengaku bisnis lobster yang ditekuninya semata berawal dari hobi. Lulusan Teknik Sipil Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini mulai menyukai dunia lobster sejak tiga tahun silam. Kelak, keinginan membudidayakan lobster membawanya ke berbagai tempat budi daya di Surabaya dan Sidoarjo. Di sana, Angga ngangsu ilmu seluk beluk bisnis lobster dari pembibitan sampai cara jual. ”Setelah observasi selama dua tahun, akhirnya mulai eksekusi pada 2021,” tutur alumnus 2017 tersebut.
Dia menyulap halaman belakang rumah dengan mendirikan tiga kolam besar dan tiga kolam kecil. Setiap kolam itu berisi lobster jenis red claw dengan umur berbeda. Kolam-kolam itu ditutupi dengan atap rendah. Tujuannya agar lobster tidak terkena matahari secara langsung. Sebab, menurutnya, warna biru pada lobster red claw bisa berubah jadi gelap apabila terlalu banyak terkena sinar. ”Jadi seperti bukan lobster budi daya, melainkan lobster yang hidup di sungai atau lainnya,” ucap ayah satu anak itu.
Untuk memastikan kualitas lobster, Angga selalu menjaga kebersihan kolam. Dibantu sang ayah, anak tunggal ini rutin membersihkan kolam dari kotora lobster. Proses pembersihan dan penggantian air dilakukan seminggu atau dua minggu sekali.
Untuk pemberian makan, lobster air tawar bukan tipikal manja. Makanan lobster yang berupa nabati meliputi kecambah, kacang ijo, jagung, dan wortel. Ada pula makanan hewani seperti cacing, keong sawah, dan ulat. Pakan itu diberikan dua kali sehari dengan didampingi pakan pelet yang diberikan sekali sehari. Biaya pakan lobster air tawar juga tidak menguras kantong dalam-dalam. Dengan hitungan kasar, Angga hanya mengeluarkan uang sekitar Rp 100 ribu untuk biaya pakan. ”Karena satu kilogram pelet saja sampai sebulan tidak habis,” ujarnya.
Budi daya lobster yang dikembangkannya ini merupakan bisnis sampingan. Linier dengan jurusan yang diambilnya saat kuliah, Angga saat ini bekerja sebagai kontraktor di Surabaya dan Sidoarjo. Di sela-sela kesibukannya itu, dia merawat lobster dan melayani para tamu. Ya, seminggu sekali, pasti ada saja yang datang ke tempatnya untuk belajar budi daya lobster.
Seperti Angga saat merintis, mereka belajar cara membudidayakan lobster dari awal sampai bisa dijual. Orang-orang yang datang itu, katanya, tak cuma mereka yang amatiran. Banyak juga di antaranya yang gagal bisnis ikan seperti lele, ikan hias, dan cupang. ”Mereka ingin membudidayakan lobster karena lebih prospek. Biaya yang dikeluarkan kecil dan tantangannya hanya pada pemasarannya saja,” ungkapnya.
Kepada para tamu itu, Angga memberi bimbingan dan konsultasi secara gratis. Mereka hanya cukup membayar ketika membutuhkan lobster untuk pembibitan. Kepada puluhan orang yang telah ngangsu ilmu kepadanya, Angga juga berusaha mencarikan pembeli. ”Ke depan saya mengupayakan agar lebih terkoordinir sehingga setiap ada yang panen bisa langsung saya salurkan,” tandasnya. (ron)