23.2 C
Mojokerto
Tuesday, June 6, 2023

Suliadi, Perajin Kriya Berbahan Eceng Gondok Asal Gedeg Kabupaten Mojokerto

Sulit Temukan Bahan Baku setelah Sungai Dinormalisasi

Dalam ekosistem air, eceng gondok dikenal sebagai gulma karena dapat berkembang dan merusak lingkungan perairan. Namun, di tangan Suliadi, tanaman dengan nama latin eichhornia crassipes ini disulap menjadi barang kerajinan yang bernilai ekonomis.

INDAH OCEANANDA, Gedeg, Jawa Pos Radar Mojokerto

BUKANNYA dibasmi, warga Desa Jerukseger, Kecamatan Gedeg ini justru memproduksi eceng gondok menjadi sebuah kerajinan. Mulai dari tas, sandal, keranjang, topi, tempat tisu, tatakan gelas dan aksesoris lainnya. Hasil dari kreasinya ini dapat ditemukan di Banyu Putih Art, gerai sekaligus workshop yang ia dirikan di rumahnya. ”Hitung-hitung sudah 20 tahun lebih saya bergelut di kerajinan ini,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Mojokerto, kemarin (22/3).

Bapak tiga anak ini menceritakan, awal mulanya ia merupakan peternak jangkrik. Karena dinilai kurang menghasilkan, Suliadi mencoba upaya lain. Dari salah satu temannya, dia mengikuti pelatihan usaha yang diselenggarakan Pemkab Mojokerto. Dari pelatihan tersebut, hingga akhirnya ia menemukan bidang usaha di kerajinan suvenir. ’’Pada awalnya, saya mendapatkan order yang lumayan,” tuturnya.

Baca Juga :  Memorabilia Kota Mojokerto, Serasa Flashback ke Masa Lalu

Namun, usaha suvenir yang ia jalani belum bisa mengubah nasibnya. Untuk mengembangkan usahanya, ia mencoba terus belajar hingga pergi ke Jogjakarta untuk melakukan studi banding. Dari hasil studi banding, Suliadi akhirnya menemukan usaha kerajinan eceng gondok yang ia tekuni hingga saat ini. ”Saya mulai coba buat tas dari eceng gondok sekitar tahun 2003 karena terinspirasi dari tas eceng gondok yang saya beli di Jogja itu. Terus saya pasarkan melalui teman saya, ternyata banyak yang minat,” kenang alumnus SMK Raden Patah Kota Mojokerto ini.

Dulunya, Suliadi kerap mencari eceng gondok di kawasan Desa Ngimbangan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Namun, semenjak ada normalisasi sungai tahun 2018, dia mengalami kesulitan memasok bahan baku usahanya itu. ”Jadi sekarang saya ambil dari Surabaya, tapi sudah bentuk kering. Harganya berbeda karena ada yang super, ada yang biasa,” beber pria 45 tahun ini. Biasanya, dalam sekali pesanan, Suliadi bisa membutuhkan 1 kuintal eceng gondok kering.

Baca Juga :  Panitia Tingkat Kabupaten Terjuni Tahap Verifikasi Pilkades Gunungan

Dia menjelaskan, untuk proses menganyam, Suliadi menghabiskan waktu sekitar tiga jam. Sedangkan untuk proses finishing, diakuinya membutuhkan waktu yang lama. Sebab harus melalui proses pengeringan, penyulaman, serta pemasangan handel. Karena pesanannya kerap membeludak, Suliadi kini juga mempekerjakan orang yang sudah ia latih terlebih dahulu. ”Bagian menganyam biasanya ibu-ibu rumah tangga karena telaten. Kurang lebih ada enam orang,” imbuh pria asal Desa Bandung, Kecamatan Gedeg itu.

Untuk produk kerajinannya, Suliadi mematok harga mulai Rp 3 ribu untuk tatakan gelas dan Rp 250 ribu untuk tas. Untuk saat ini, dia menyebut, produk yang paling banyak dipesan saat ini yakni hampers dan tempat tisu. Terlebih, saat ini sudah memasuki bulan Ramadan dan menjelang Lebaran. Kerajinan karya Suliadi sendiri sudah tembus dipasarkan hingga ke Makassar. ”Kalau pesanan lagi banyak, omzet pesanan bisa sampai Rp 10 juta,” tandasnya. (ron)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/