Perajin Banting Setir Pekerjaan Lain
Bagi kalangan pecinta kerajinan terakota khas Trowulan, nama Wagiran mungkin tak asing didengar. Dia adalah pelopor kerajinan terakota Trowulan. Namun, kini generasi penerusnya mulai banting setir. Faktornya, akibat lesunya permintaan kerajinan yang diyakini warisan budaya Majapahit tersebut.
MARTDA VADETYA, Trowulan, Jawa Pos Radar Mojokerto
SIANG itu, Arifin, 58, tengah menata workhsop tempatnya menelurkan sejumlah karya kerajinan terakota khas Mojopahitan. Anak kelima Wagiran itu masih setia berkarya mengolah tanah liat menjadi terakota. Padahal, sejak beberapa tahun belakangan, permintaan kerajinan terakota kian lesu. ’’Sekarang makin minim peminatnya. Bikin terakota ini kalau ada permintaan saja,’’ ungkapnya, sembari menata sejumlah karyanya.
Lesunya permintaan terakota mulai terjadi sejak 2014 silam. Padahal, sebelum itu, banyak kolektor seni maupun artshop yang rutin memesan ke generasi pertama pelopor kerajinan terakota di Mojokerto tersebut. Tak jarang, dalam sebulan, Arifin hanya mengerjakan satu pesanan. Padahal saat ini ia telah mengikuti perkembangan zaman. Yakni memasarkan karyanya secara online di sejumlah marketplace.
’’Mulai 2014 itu makin sepi, makin jarang yang pesan (langsung datang ke workshop). Dulu biasa kirim ke artshop di Bali, sekarang ya sesuai permintaan,’’ bebernya. Padahal, karya terakota seperti candi maupun sosok Majapahitan dibanderol dengan harga yang relatif terjangkau. Mulai dari Rp 20 ribu hingga Rp 800 ribu. Tergantung ukuran dan tingkat kesulitan. Menurutnya, ada sejumlah faktor yang melatar belakangi.
Di antaranya, mulai sulitnya mencari bahan tanah liat berkualitas. Sesuai pakem yang dipegangnya dari mendiang sang ayah. Yakni, tanah liat di lapisan keempat dari permukaan tanah. ’’Sekarang tanah liat itu (lapisan keempat) sudah mulai sulit. Kalah sama linggan,’’ ucap ayah tiga anak itu.
Diakuinya, Arifin tak main-main soal pakem yang diajari mendiang Wagiran hingga ia menekuni kerajinan terakota sejak usia belasan tahun itu. Mulai dari kualitas bahan baku hingga detail desain. ’’Dulu kita masih bisa jual karya sesuai pakem aslinya (temuan asli peninggalan Majapahit). Kalau sekarang ya nggak laku. Kita layani sesuai desain pembeli saja sekarang,’’ katanya.
Menurutnya, persoalan kerajinan terakota warisan budaya Majapahit itu kini kian kompleks. Apalagi dibanding kerajinan lainnya seperti cor kuningan maupun patung batu yang sudah melejit sejak lama. ’’Harapannya ada perhatian serius dari pemerintah buat mewadahi perajin terakota. Pembinaan misalnya, sejauh ini belum ada,’’ ujarnya.
Terseoknya kerajinan terakota membuatnya bertumpu pada pekerjaan lain. Diakuinya, sejak 2014 lalu, ia mulai menekuni bisnis jual beli motor. Meski hingga kini Arifin masih merintis. ’’Kalau cuma dari terakota aja nggak cukup,’’ tambahnya. Bahkan perajin terakota di Trowulan saat ini tersisa sekitar 20 orang. Berbanding terbalik dengan pengrajin cor yang kini mencapai ratusan orang.
Imbas lesunya peminat terakota berimbas pada generasi pertama penerus Wagiran. Di antaranya mulai banting setir menekuni pekerjaan lain. ’’Dari 12 anaknya Pak Giran, awalnya 8 orang yang neruskan terakota. Belakangan satu orang sudah meracang (pedagang sayur), jadi tinggal 7 orang. Itu pun di antaranya juga cuma jual saja. Rata-rata ya kondisinya seperti saya begini sekarang,’’ tandasnya. (fen)