Kemampuan mencambuk dan menangkis merupakan esensi pertunjukan ujung. Panasnya pukulan kayu rotan tak membuat pemain saling dendam. Kesenian yang ada sebelum era Majapahit ini terus beradaptasi dengan zaman dan tampaknya akan masih lestari dalam waktu panjang.
YULIANTO ADI NUGROHO, Bangsal, Jawa Pos Radar Mojokerto
PULUHAN orang mengelilingi panggung sederhana di bawah rerimbun bambu, Minggu (10/7) siang. Dua pemain ujung sedang jual beli pukulan. Cetar… Bunyi lecutan kayu rotan mendarat di punggung pria bertato. Cambukan itu dibalas dengan serangan ke arah perut yang segera ditangkis lawannya.
Sepanjang permainan, hanya senyum yang mengembang dari wajah keduanya. Mereka juga langsung berjabat tangan setelah masing-masing melontarkan tiga pukulan, tanda permainan selesai. Pertunjukan ujung yang berlangsung di Desa Salen, Kecamatan Bangsal, sejak pukul 10.00 itu akan dilanjutkan setelah istirahat siang.
Pertunjukan ujung selalu meriah dan menarik perhatian masyarakat. Untuk memainkannya, dua orang harus bertelanjang dada. Di atas panggung, mereka saling mencambuk atau dalam seni ujung disebut membonggol menggunakan kayu rotan atau gendir sepanjang satu meter. Ketika seorang pemain melemparkan bonggolan, musuh boleh memasang tangsikan dengan gendir.
Dalam permainan ujung, sekali pemain melepaskan pukulan bakal diselingi dengan jogetan. Mereka berbendang seiring lantunan musik galeman. Dari balik mikrofon, suara pemandu acara juga setia mengiringi hentakan rotan. ”Kesenian ujung bukanlah pertandingan, melainkan kesenian,” ujar Sri Waluyo Widodo, selaku wasit utama atau kemelandang ujung.
Selama mengatur jalannya permainan ujung, Widodo dibantu tiga wasit lain. Dua orang bertugas membawa segepok kayu rotan dan mencari pemain berikutnya. Sedangkan, seorang lainnya bertugas menggendong sebuah bokor berisi beras kuning. Beras itu ditaburkan saat pertandingan sebagai simbol pengusir malapetaka. Di sudut panggung terdapat setandan pisang. Konon pisang raja itu dipakai untuk mengobati para pemain apabila terluka. ”Caranya, buah pisang dimakan, sedangkan kulitnya dilulurkan ke bagian tubuh yang luka,” terang warga Desa Salen, Kecamatan Bangsal ini.
Widodo mengatakan, permainan ujung tidak mencari pemenang. Sehingga permainan ini tidak bisa disebut sebagai pertandingan. ”Kalau pertandingan olahraga, ada yang menang dan kalah. Tapi kalau kesenian ujung tidak ada,” ungkap pria 57 tahun tersebut.
Kesenian ujung sebagai tradisi yang telah ada selama berabad-abad setidaknya telah melintasi empat zaman berbeda. Di setiap zamannya, ujung memiliki fungsi dan makna berbeda. Widodo menceritakan, pada awal kemunculannya di era sebelum Mapajahit, ujung merupakan alat ritual memanggil hujan. Darah yang mengucur dari pemain yang saling mencambuk adalah simbol tetesan air. ”Dulu kalau minta ke Sang Hyang Widhi mengadakan ritual dengan saling mencambuk sehingga keluar darah. Karena minta hujan, dikabulkan sehingga air turun,” ungkap pemilik kelompok kesenian ujung Moyang Wijaya itu.
Dalam perkembangannya, tradisi ujung juga menjadi ajang adu kekuatan prajurit Kerajaan Majapahit. Konon, para ksatria menguji ilmu kanuragan lewat pertandingan ujung atau saling cambuk. ”Itu perbedaan zaman saja. Sebelum Majapahit jadi ritual, kalau zaman Mapajahit ada tradisi untuk menjajal kekuatan,” jelas pria yang sejak 1985 sudah menjadi kemelandang tersebut.
Kesenian ujung kelak dimainkan dari generasi ke generasi. Pelestari kesenian ujung biasanya berlangsung secara turun temurun. Hingga beberapa puluhan tahun silam, permainan ujung masih menjadi ajang adu kehebatan. Permainan ujung mengeluarkan siapa yang terhebat dan tak terkalahkan. Lambat laun, kesan kekerasan dalam permainan ujung mulai dikikis.
Seiring perkembangan zaman, kata Widodo, citra kesenian ujung dipoles murni sebagai kesenian adu ketangkasan tanpa mencari pemenang. ”Baru 15 tahun terakhir ini, karena perkembangan zaman, kita ubah image itu. Ujung murni suatu kesenian dan tidak memakai ilmu kanuragan. Sekarang ilmu kanuragan, meskipun masih ada, tetapi tidak kita lihatkan,” jelas generasi ketiga keluarga pelestari seni ujung tersebut.
Di zaman ini, yang ditojolkan dalam kesenian ujung adalah kemampuan membonggol dan menangkis. Pemain ujung bahkan tidak ada yang saling dendam meskipun di atas panggung saling pukul. Permainan ujung digelar dalam berbagai kegiatan.
Seperti ruawatan desa hingga acara hajatan. Para pemain datang dari berbagai daerah. Peminat kesenian ujung datang dari beragam kalangan usia. Bahkan, anak-anak di Desa Salen pun sudah belajar menjadi pemain ujung dan kemelandang. ”Kalau untuk generasi penerus sepertinya tidak akah habis. Karena sekarang yang kecil-kecil pun sudah banyak yang ikut,” ungkap Kades Salen Suyanto. (ron)