31.8 C
Mojokerto
Saturday, June 10, 2023

Bobot Samiler Dikurangi

SEJUMLAH pengrajin samiler di Kabupaten Mojokerto harus memutar otak agar bisa tetap bertahan. Menyusul merangkak naiknya harga sejumlah bahan baku kudapan khas Kecamatan Gondang tersebut yang kian mencekik pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Seperti yang dialami Sri Hartini. Owner Samiler Maju Jaya di Dusun Ketegan, Desa/Kecamatan Gondang itu mengaku dibuat pusing akibat naiknya harga bahan baku samiler. Mulai dari melonjaknya harga tepung tapioka alias kanji hingga harga minyak goreng. Bahkan, kenaikan harganya hampir bersamaan. ’’Naiknya harga minyak goreng sama tepung kanji itu hampir barengan, sekitar November 2021. Setelah harga minyak goreng naik, tepung kanji nyusul,’’ terang wanita 48 tahun itu.

Menurutnya, kenaikan harga minyak goreng relatif bertahap sedangkan kenaikan harga kanji justru meroket. Sejauh ini, pihaknya biasa menggunakan minyak goreng kemasan dua liter. Yang harga sebelumnya  dikisaran Rp 28 ribu kini harganya menyentuh Rp 40 ribu. Sedangkan tepung tapioka, Hartini biasa menggunakan kemasan 25 kilogram (kg) yang harganya mengalami kenaikan sekitar Rp 35 ribu dari harga sebelumnya.

’’Tepung kanji harganya langsung melonjak. Sebelumnya Rp 175 ribu sekarang jadi Rp 210 ribu. Naiknya langsung sekitar Rp 10 ribu (dan seterusnya), kalau minyak goreng kan merengkak sedikit-sedikit naiknya,’’ ungkap pengrajin samiler sejak 2010 itu.

Padahal, penggunaan bahan baku tersebut terbilang cukup banyak. Dalam sehari, setidaknya ia menghabiskan empat liter minyak goreng. ’’Kalau hari biasa gini kira-kira sebulan habis minyak goreng 120 liter. Kalau pas momen libur lebaran atau tahun baru bisa sampai dua kali lipatnya,’’ urainya.

Baca Juga :  Musim Pandemi, Isabella Mojokerto Malah Geber Diskon

Diterangkannya, sejauh ini masih belum ada kebijakan terkait harga bahan baku tersebut hingga membawa angin segar bagi pelaku UMKM maupun home industry. Untuk minyak goreng misalnya. Penerapan kebijakan satu harga Rp 14 ribu per liter dan pembatasan belanja maksimal dua liter dinilai kurang tepat.

Lantaran sasarannya hanya untuk konsumsi harian skala rumah tangga. ’’Gak ngaruh, kita tetap ndak bisa beli banyak. Jadi selama ini kita beli di agen atau toko harga sekitar Rp 40 ribu (kemasan dua liter) itu,’’ keluhnya.

Sehingga, pihaknya punya sejumlah cara untuk mensiasati kenaikan harga bahan baku tersebut. Salah satunya dengan mengurangi berat bersih samiler dalam kemasan oleh-oleh. Yang sebelumnya berbobot 100 gram, kini menjadi 90 gram. ’’Yang kemasan oleh-oleh harga Rp 5 ribu itu kita kurangi bobotnya, kalau yang dinaikkan harga khawatirnya pembeli jadi kurang sreg,’’ katanya.

Sebaliknya, untuk samiler kemasan kiloan pihaknya mengaku terpaksa menaikkan harga. Samiler matang kemasan 1 kg yang sebelumnya seharga Rp 42 ribu kini naik menjadi Rp 45 ribu. Untuk samiler mentah kemasan 500 gram, yang sebelumnya dihargai Rp 16 ribu kini menjadi Rp 17 ribu. ’’Ya mau gimana lagi, syukurnya pembeli dan langganan kita sudah paham karena harga bahan sekarang memang sedang naik semua. Kita cuma bisa berharap supaya harga bahan bisa kembali normal,’’ tandasnya.

Hal senada juga dialami Sudarmaji. Pengrajin kerupuk berbahan utama singkong di Dusun Ketanen, Desa Kemasantani, Kecamatan Gondang, itu mengeluhkan harga singkong yang merangkak naik. Kini, harga singkong bertengger dikisaran Rp 2 ribu per kilogram yang sebelumnya seharga Rp 1.500 per kilogram. ’’Sudah sekitar dua bulan ini harga singkong naik. Biasanya saya ambil dari Mojokerto sendiri sama dari Malang,’’ sebut pria 40 tahun itu.

Baca Juga :  Kiai Kharismatik Itu Berpulang

Padahal, dalam sehari dia bisa menghabiskan 60 kg singkong dalam sekali produksi. Meski begitu, pihaknya memilih untuk tidak menaikkan harga samilernya. Sebab, dia mempertimbangkan aspek sirkulasi harian samiler buatannya itu. ’’Ya tetap, harganya Rp 15 ribu per kilogram. Kasian yang beli buat dijual lagi, daripada di sini juga ndak laku,” katanya.

Diakuinya, keuntungan yang dikantongi para pengrajin samiler kian menipis. Selain harga bahan baku yang naik, faktor cuaca yang tak menentu jadi penyebab lain. Yang biasanya bergantung pada panas matahari, kini pengrajin harus punya open khusus agar memperlancar proses produksi. ’’Pakai oven lima jam selesai, tapi berat di gas elpiji. Sekarang keuntungannya makin tipis, jadi kita bikin samiler mateng kalau ada pesanan saja,’’ ungkapnya.

Tak pelak, Desa Kemasantani yang dikenal sebagai sentra samiler kini jumlah pengrajinnya menyusut. Dari ratusan kepala keluarga, saat ini hanya tersisa 40 pengrajin rumahan. ’’Dulu hampir 90 persen penduduk sini pengrajin samiler semua. Gara-gara produksinya semakin susah, sekarang jadi banyak yang milih kerja di pabrik. Bahkan ada yang jual samiler kalau musim kemarau saja karena produksinya gampang,’’ tukas pria yang melanjutkan usaha milik keluarganya itu. (vad/fen)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/