MOJOKERTO – Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen bagi petani tebu dan pengusaha gula mulai dirasakan petani tebu di bawah wilayah kerja (wilker) PTPN X Pabrik Gula (PG) Gempolkrep, Gedeg, Mojokerto.
Keresahan ini bahkan telah membayangi dalam tiga periode terakhir lelang penjualan gula. Petani menerima pembayaran hasil pembelian gula secara tak utuh. Hal itu disebabkan oleh bayang-bayang broker pembeli gula, manakala petani menolak membayar PPN 10 persen gula pasca proses giling. Maka, pengusaha tidak akan membeli gula dari petani tebu.
Sekretaris Forum Petani Tebu (FPT) wilker PG Gempolkrep, Tasirin mengatakan, rencana pemerintah menerapkan PPN kepada petani tebu dianggap membebani. ”Sekarang, petani resah. Bagaimana mungkin, kami harus menanggung beban PPN. Padahal, tebu itu bukan termasuk barang pokok kena pajak,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Mojokerto, Jumat (14/7).
Mantan anggota DPRD Kabupaten Mojokerto dari Partai Demokrat ini mengaku, nasib petani tebu semakin sulit jika penerapan pajak benar direalisasi pemerintah. ”Petani keberatan jika diminta membayar pajak,” jelasnya. Sebab, kewajiban pajak sejatinya diberlakukan bagi pengusaha gula atau pembeli gula hasil lelang pasca giling. ”Tapi, di tiga periode ini, petani melalui koperasi-koperasi tak lagi menerima hasil penjual gula secara utuh,” tandasnya.
Tasirin menyebutkan, periode pertama, tanggal 10 Juni lalu, hasil lelang gula laku Rp 10.395 per kilogram (kg). Akan tetapi, pasca rencana penerapan PPN 10 persen dan atas bayang-bayang pengusaha gula, petani menerima Rp 9.450 per kg. Di periode kedua, tanggal 18 Juni, hasil lelang, gula petani dihargai Rp 10.488 per kg, tetapi menerima Rp 9.500 ribu per kg. ”Artinya, 10 persen dari penjualan gula petani dikurangi untuk bayar pajak,” tandasnya.
Sementara pada lelang periode ketiga, 10 Juli kemarin, gula petani laku Rp 10.488 dan menerima Rp 9.535 per kg. Sehingga, bila dikalikan dalam jumlah yang besar sesuai volume gula, dengan demikian beban PPN semakin tinggi pula. ”Punya saya saja sekitar 160 kuintal dari 1,5 hektare lahan. Kalau diitung, pajak mencapai Rp 7 juta lebih,” paparnya.
Dijelaskan Tasirin, saat ini uang persiapan pembayaran PPN petani dititipkan melalui rekening koperasi-koperasi yang bekerja sama dengan PG Gempolkrep. Hingga nanti baru dikeluarkan setelah pemerintah resmi menerapkan PPN. ”Karena belum ada aturan resminya, PPN itu belum dibayarkan,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, jumlah petani tebu di wilker PG Gempolkrep tercatat ada sekitar 2.500 orang. Mereka berasal dari Kabupaten/Kota Mojokerto, Jombang, dan Lamongan. Keberadaan ribuan petani tebu tergabung dalam keanggotaan 32 koperasi mitra PG Gempolkrep.