Dari rumah berbahan gedek inilah beragam alat musim tradisional dilahirkan. Tak hanya di Jawa Timur (Jatim). Karya kakak-beradik ini sudah melalang buana ke Kalimantan, Papua, bahkan mancanegara. Seperti Jerman dan Malaysia.
ADALAH Dedi Rinda Febrianto, 38, dan Siswadi, 47, perajin gamelan Cipta Laras dari Dusun/Desa Sawo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Keduanya adalah generasi ketiga dari kakek buyut yang menekuni kerajinan gamelan sejak tahun 1960-an.
Dedi dan Siswadi meneruskan usaha yang sebelumnya digawangi ayah mereka, Samiaji. Samiaji meninggal dunia empat bulan lalu. Semenjak itu, mereka menekuni kerajinan gamelan ini. Berbagai jenis gamelan diproduksi. Mulai bonang, kenong, kempul, gong, saron, demung, peking, jember, gambang, slentem, ketuk, rebab, dan suling.
Alat musik yang biasanya mengiringi pentas karawitan, ludruk, hingga ketoprak itu dibuat dari berbagai jenis bahan. Seperti besi, kuningan, hingga perunggu. ”Yang paling mahal dari bahan perunggu ini,” ungkap Dedi. Dia mengatakan, harga gamelan menyesuaikan jenis dan bahannya. Semisal, untuk satu set gamelan berbahan besi dijual dengan harga kisaran Rp 40 juta hingga Rp 50 juta.
Sementara itu, untuk satu set gamelan berbahan kuningan mencapai Rp 100 juta. ”Tapi, yang banyak itu pesanan satuan atau bijian itu,” tambahnya. Untuk jenis bijian juga ditentukan berdasarkan jenis dan bahanya. Semisal, untuk kenong berbahan perunggu berdiameter 36 sentimeter (cm) dihargai Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Sementara itu, dia hanya mematok harga Rp 500 ribu untuk jenis barang sama berbahan besi. ”Kalau bahan kuningan harganya Rp 2 juta,” katanya.
Dia mengatakan, bahan-bahan itu didapatkannya dari berbagai tempat. Jika sedang ramai pesanan, dia dan kakaknya biasanya dibantu oleh empat sampai lima orang pekerja. Mulai dari proses penyepuhan bahan, pegelasan, hingga menyetel nada. Khusus untuk yang terakhir, Dedi mengaku hanya dirinya yang mampu melakukan. ”Yang paling sulit itu memang mengatur nadanya itu. Karena butuh feeling dan tidak semua orang bisa,” ujar pria yang sudah menggeluti kerajinan gamelan sejak 2001 itu.
Kesulitan itu ditambah dengan tangga nada gamelan yang berbeda dengan not pada umumnya. Menurutnya, kualitas suara gamelan ditentukan berdasarkan ukuran tebal pelat dan penyeteman dari perajinnya. Hal inilah, yang membuat kualitas gamelan Cipta Laras diakui berbagai kalangan. Mulai dari perorangan, kelompok kesenian, hingga sekolah-sekolah untuk kegiatan kesenian. Karyanya juga sudah dikirim ke luar Jawa hingga mancanegara. ”Paling jauh pernah dikirim ke Jerman,” ungkapnya.
Dedi menambahkan, dalam satu bulan dia bisa mendapatkan omzet Rp 25 juta hingga Rp 30 juta. Hal ini berbeda semenjak pandemi Covid-19 merebak. Pendapatannya menurun drastis. Bahkan, sama sekali tidak mendapatkan pemasukan. ”Terakhir ada order itu dari Jayapura (Papua) sekitar bulan September 2020 lalu. Setelah itu tidak ada sama sekali,” terangnya.
Anjoknya permintaan ini berhubungan dengan terbatasnya pentas yang dilakukan oleh pelaku kesenian selama Pandemi Covid-19. Selain itu, penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) juga meminimalisir kegiatan kesenian yang dilaksanakan murid-murid sekolah. (adi)