Kenangan tragedi bom Gereja Eben Haezer tak pernah hilang di benak keluarga Riyanto. Mereka pun bercerita tentang insiden Malam Misa 20 tahun silam itu. Bahkan, usia renta tak membuat mereka berhenti meneruskan cita-cita dan semangat sang martir yang ingin mati syahid.
YULIANTO ADI NUGROHO, Prajurit Kulon, Jawa Pos Radar Mojokerto
MEMASUKI gapura bertuliskan Jalan Riyanto, serasa menelusuri jalan ingatan. Rumah bercat merah muda itu tampak tak berbeda. Kecuali motor vespa dan becak yang terparkir di pekarangan rumah. Di rumah itulah, 20 tahun silam, sang martir, Riyanto, disemayamkan.
Riyanto menjadi martir setelah menyelamatan Gereja Eben Haezer pada 24 Desember 2000. Ledakam bom yang menewaskan pemuda 25 tahun itu, juga didengar Sukarmin, tak lain adalah ayah Riyanto. Sukarmin menuturkan, ledakam bom terdengar dari posisinya yang berjarak sekitar satu kilometer (Km) dari lokasi gereja, tempat putra sulungnya menjalankan tugas pengamanan Malam Misa.
”Waktu itu kan malam Natal, setelah buyaran (selesai) itu saya mengantar penumpang saya ke daerah Sinoman Gang 3. Setelah menurunkan penumpang saya balik. Sampai di jalur rel situ, saya dengar suara ledakan. Kata orang-orang, gereja di Jalan Kartini (Eben Haezer, Red) dibom. Gereja Kartini dibom,” ungkapnya mengingat.
Bom meledak sekitar pukul 21.00 WIB setelah sejumlah jemaat meninggalkan gereja. Karena tak bisa mendekat ke area lantaran penuhnya kerumunan massa dan penjagaan polisi, Sukarmin mengayuh pulang becaknya ke rumah di Gang Baru, Kelurahan/Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto tersebut. Sukarmin membawa becaknya pulang ke rumah.
Ledakan itu rupanya tak membuat tenang perasaan Sukarmin. Ia pun kembali mendekat ke area ledakan menggunakan sebuah sepeda ontel. Hal itu tentunya berkaitan dengan kabar anaknya yang malam itu ikut berjaga.
”Setelah sudah agak sepi orang. Ada ambulans yang keluar dari area belakang gereja itu. Saya ikuti, terus ketemu ada petugas. Saya tanya apakah ambulans itu mengambil korban dari gereja,” terangnya.
Informasi yang didapatnya, korban merupakan seorang anggota Banser Kota Mojokerto. Kabar itu semakin membuat Sukarmin tak tenang. Waswas dan khawatir. ”Katanya kalau saya punya famili Banser sekarang dibawa ke rumah sakit umum,” tambahnya. Perasaannya semakin tak enak. Prasangka buruk menghantui pikiran Sukarmin. Hal itu lantaran anaknya belum juga pulang, sementara kawan-kawan Banser lainnya sudah berada di rumah masing-masing.
Hingga pukul 01.00 WIB ia tahu putranya telah tiada. Setelah Sukarmin dijemput karena rumahnya sudah penuh oleh orang-orang yang menunggu jenazah putranya. Pria 73 tahun itu sehari-harinya bekerja sebagai penarik becak. Sejak tahun 1975, ayah tujuh anak ini sudah melakoni pekerjaan tersebut. Salah satu tempat mangkalnnya adalah di perempatan Jalan Kartini, yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari Gereja Eben Haezer.
Hingga kini, Sukarmin rupanya masih menekuni pekerjaannya tersebut. Siang itu, terparkir sebuah becak miliknya yang masih tampak bagus. Sukarmin mengatakan, semenjak pandemi Covid-19, ia sudah jarang narik karena sepinya penumpang. ”Memang masih narik becak. Cuma kalau sekarang banyak mengantar langganan-langganan saja,” terangnya.
Sukarmin sesekali menyebutkan bahwa anaknya itu memiliki sifat pendiam. Dia sering mendengar bisikan dari istrinya, Katinem, 65, yang mengatakan bahwa, Riyanto kerap bercerita soal cita-citanya. ”Katanya dia pingin jadi tentara, dulu cita-citanya. Pingen mati syahid membela negara,” ungkap Sukarmin.
Di usianya yang ke 25 tahun, Riyanto meninggal sebagai martir dalam insiden pengeboman Gereja Eben Haezen. Mengenang pengorbanan pulungnya, Sukarmin tak henti-hentinya bersyukur karena anaknya memiliki kecintaan yang tinggi pada kehidupan dan sesama. Semangat Riyanto lah, yang membuat keluarga ini semakin dekat dengan berbagai kalangan, serta membangun inklusifitas yang kuat.