Sabtu, 20 April 2024

Cerita Keselamatan Pasien dan Turunnya Malaikat di Ruang Medis

- Jumat, 15 Mei 2020 | 11:00 WIB
cerita-keselamatan-pasien-dan-turunnya-malaikat-di-ruang-medis
cerita-keselamatan-pasien-dan-turunnya-malaikat-di-ruang-medis

AWAL mula perjalanan menjadi seorang dokter dimulai tahun 2011. Saat itu, Winda Amelia Lestari menjadi dokter muda atau biasa dipanggil dengan sebutan coass, di salah satu rumah sakit di Kediri, Jawa Timur.


Pertama praktik, Winda, begitu dia biasa disapa, seketika bertemu dengan pasien dengan kondisi memburuk, dan melihat betapa dekat kematian dengan kehidupan seseorang.


’’Saat itu saya bertugas jaga sore di bagian VK atau ruang persalinan. Ada telepon dari rekan saya yang bertugas di bagian IGD, bahwa kita akan kedatangan pasien rujukan dengan diagnosis HPP (hemorargic post partum),’’ kenang Winda.


Dalam benaknya, dia bersama rekannya akan dipertemukan langsung dengan tentang apa itu perdarahan, setelah melahirkan dan bagaimana penanganannya. ’’Tak lama pasien datang dengan kesadaran yang mulai menurun, perdarahan masih banyak, dan Hb cito waktu itu tinggal 4 gr/dl,’’ ceritanya. 


Dia bersama tim medis (coass, bidan, dan dokter spesialis kandungan) segera melakukan penanganan kegawatdaruratan kepada pasien tersebut. Segala upaya pun lakukan untuk menyelamatkan pasien.


Tetapi takdir berkata lain. Primigravida (ibu hamil anak pertama), usia masih belia, dan melahirkan anak pertama (bayi dalam kondisi sehat) itu telah dijemput malaikat pencabut nyawa yang turun.


’’Dalam hati saya saat itu: Ya Allah betapa mulia perjuangan seorang ibu untuk melahirkan putra-putrinya ke dunia ini. Tak salah bila surga berada di telapak kaki ibu,’’ jelas PR dan Makerketing Departemen Coordinator RSI Sakinah ini.


Winda mengaku, sedih jika mengingat bayi yang lahir tersebut dan akan dibesarkan tanpa kehadiran seorang ibu kandung. Dia menambahkan, pengalaman kedua terjadi tahun 2012. Saat menjadi coass di bagian forensik.


Ketika itu, ada kasus dugaan kriminal (pembunuhan) di salah satu kabupaten di Jawa Timur. Dia bersama tim DVI (disaster victim identification) lantas menuju ke daerah tersebut untuk melakukan exhumation (penggalian kubur). Jenazah seorang perempuan dari keluarga yang mampu dan telah dimakamkan kurang lebih selama tujuh hari.


Sesampainya di lokasi kondisi makam telah digali, dan jenazah masih dalam lubang tanah berukuran 1,5 x 3 meter. ’’Tentu saja kami sebagai dokter muda lah yang mengangkat jenazah tersebut,’’ jelasnya.


Dipertemukan dengan jenazah berbalut kain kafan yang sudah lusuh, daging yang sudah mulai membusuk, dan wajah yang telihat pudar (tak berbentuk), Winda bersama tim DVI langsung melakukan pemeriksaan sesuai dengan instruksi dokter spesialis forensik. Sekaligus belajar menyelidiki secara medis tentang bagaimana mencari penyebab jenazah tersebut meninggal.


’’Setelah mendapat kesimpulan dan perjalanan pulang, ada pelajaran berharga yang saya dapatkan. Bahwa, kematian tidak mengenal usia, jenis kelamin, ganteng atau cantik, kaya atau miskin, seorang pemimpin/pejabat atau rakyat biasa. Yang hidup akan mati jika pada waktunya,’’ paparnya.


Sedangkan pengalaman berikutnya, ketika sudah menjadi seorang dokter umum. Winda menangani kasus dengan syock anafilaktik (kondisi pasien syok dikarenakan alergi). Dia menceritakan, saat itu seorang pasien laki-laki datang ke IGD di salah satu RS Mojokerto.


Dengan kondisi penurunan kesadaran, tanda-tanda vital menurun (hipotensi dan takikardia), keringat dingin, dan pernapasan yang cepat. Diketahui dari keluarga, sesaat sebelum sakit, pasien telah mengonsumsi obat pereda nyeri.

Halaman:

Editor: Moch. Chariris

Terkini

Harga Gabah di Kabupaten Mojokerto Terkerek HPP

Selasa, 16 April 2024 | 15:00 WIB
X